Tuesday, September 16, 2008

kenisah : di hari sebelum waktuku semakin tercekat

DI HARI SEBELUM WAKTUKU SEMAKIN TERCEKAT
 
"dalemipun pundi ?" (rumahnya dimana ?) tanya ibu - ibu yang duduk di sebelah.
"bogor...", jawab saya.
"kuliah nggih ?", (kuliah ya...?) tanyanya lagi.
--beberapa kali saya di sangka profesinya mahasiswa. Gak masalah. Saya biasanya nggak jawab. --
Waktu menunjukkan pukul dua dini hari, hari senin. Bis ini masih melaju dengan kecepatan tanggung, melintas Temanggung. Tak lama kemudian Ibu sepuh itu pamitan dan turun di simpang Canguk.
 
Hari itu, di hari sebelum waktuku semakin tercekat, saya memutuskan untuk berangkat ke Yogyakarta, kota leluhur. Beranjak dari kota persimpangan Cikampek, pada suatu senja yang indah. Senja hari Minggu.
Hampir sepekan lalu saya terima kabar bahwa Kakek sakit dan harus opname. Di usia delapan puluhan, ginjal dan jantung menurun unjuk kerjanya. Dan di hari Jum'at pesan pendek yang mengalir membanjir ke ponsel semakin membulatkan tekad bahwa saya harus segera berangkat.
 
*****
 
Kakek adalah seorang petani yang tinggal di kaki gunung Merapi. Di desa Gentan bawah Kaliurang. Profesi yang 'bergengsi' yang pernah di embannya adalah pegawai KUA setempat. Kantor Urusan Agama, --yang disibukkan dengan urusan pernikahan warganya. Profesi pegawai KUA ini berkesan bagi saya ketika saya melaksanakan akad - nikah, dimana Kakek menjadi saksi. Setelah saya menyampaikan ijab, kontan sebagai saksi Kakek segera berujar." SAH ! ". Dan saya bertukar senyum dengan beliau.
 
Sebagai petani, pekerjaannya ya kelilingan menggarap sawah. Berkendara sepeda pancal dengan cangkul di sandangnya. Namun semenjak tahun 80-an saya kira, Kakek membeli skuter. Dan sejak itu saya sering ikutan ke sawah karena bisa berboncengan dengan skuter. Bisa bermain di sawah, atau mengambangkan kapal - kapalan daun bambu di sungai kecil yang bening airnya. Kalau kebablasan, yang nyempung dan adu siram engan saudara. namun acara ini tidak berlangsung lama, karena setelah itu persawahan di daerah Kaliurang berkurang, berganti dengan perumahan dan resort. Sungai dan kali mengecil dan mengeruh. Saya pun tumbuh menjadi remaja yang lebih senang dolan ke Malioboro.
 
Namun bagi saya profesi beliau yang paling keren adalah sebagai imam mesjid. Yang mana mesjidnya itu sendiri malah berada di seberang desa tempat kakek berdiam. Gara - gara profesi inilah Kakek sempat hampir di-'lenyap'-kan oleh aksi komunis di tahun 60-an. Imam - imam mesjid di beberapa desa sekeliling sudah lenyap tak tentu rimbanya. Untungnya saat  adanya aksi penculikan itu ketahuan, dan pelakunya bisa di bekuk, yang ternyata teman sekolah Ibu saya sendiri. Nyaris Kakek jadi korban.
 
Ada beberapa cerita dari Kakek yang suka humor ini. Kakek dulu adalah pelatih amatiran beladiri. Punya pedang panjang, hampir mirip samurai. Entah tahun berapa-- ketika awal memiliki rumah di desa Gentan, rumah itu sering dijahilin sama orang. Entah siapa pula. Jaman susah, jaman penjajahan.
Bukannya gentar, Kakek malah setiap malam bergadang meronda rumahnya sendiri lengkap dengan pedang terhunus dan rokok klobot. Entah berapa bulan kakek mencoba nantangin tukang jahil ini. Rupanya cara ini berhasil, terbukti sejak itu rumahnya aman sejahtera. "Kita harus berani, supaya tidak diisengin orang...", begitu katanya.
 
Juga ketika menjadi imam mesjid, pernah pula khilaf terlambat subuhan hingga ditinggal para jamaahnya yang sudah pada pulang. Rupanya Kakek kesiangan dan harus menunaikan solat subuh sendirian. Sendirian ? Ternyata tidak.
"Ketika salam, tengok kanan - dan kiri, ternyata di belakang saya ada yang ikutan solat. Orang yang besar sekali hingga atap mesjid dengan rambut merah kuning. Warnanya hijau mengerikan. Dan ketika beberapa saat kemudian saya tengok, dia sudah tidak ada", ujar Kakek.
 
****
 
Senin pagi dini hari itu, menjelang subuh saya menginjak lantai Rumah Sakit PantiRapih. Masih sunyi dan langkah saya menimbulkan bunyi yang kentara. Saya memasuki kamar opname Kakek. Beliau masih tidur dengan infus tergantung.
Sekitar pukul tujuh, ketika mentari merekah, saya sempat bercakap sebentar dengan Kakek, menemaninya sarapan yang hanya ditelannya tiga sendok saja. Dan di hari yang sama, menjelang ashar, saya harus berpamitan. Dan kembali saya sempat bercakap dengan Kakek sekaligus menyampaikan sungkem dari Kakak yang belum sempat bezuk.
Saya melangkah meninggalkan gerbang Rumah Sakit. Menengok sebentar ke jendela kamar Kakek. Waktu terasa semakin cepat. Saya mengambil keputusan semakin cepat pula. Sebelum waktuku semakin tercekat. [] haris fauzi - 16 september 2008

salam,

haris fauzi

No comments: