Sunday, September 07, 2008

kenisah : terbiasa ruwet

TERBIASA RUWET

Entah saya yang mulai kurang bisa berpikir alias pikun, atau memang dunia ini yang semakin semrawut. Paska kepresidenan Habibie, semenjak Gus Dur menjadi Presiden negara ini, saya memang boleh dikatakan tidak pernah lagi membaca berita, alias koran, alias tayangan terkini. Sesekali bolehlah. Atau di mobil mendengarkan BBC versi Indonesia. Bukan main malasnya saya mengikuti berita.

Minggu lalu dalam sebuah pelatihan di kantor, saya diingatkan oleh salah satu direktur saya, agar selalu mengikuti perkembangan berita. Tapi, membiasakan kembali mengikuti ragam berita yang bermacam - macam itu cukup membuat saya kelabakan. Coba saja, jaman saya kuliah, saya dalam sehari melahap sekitar lima koran. Bukannya kenapa, masa itu saya menjadi redaktur majalah kampus, jadi nggak ada lucu - lucunya bila saya ketinggalan berita. Sekarang ? Saya lebih senang mendengarkan lagu, membaca buku, dan menulis kolom ketimbang mendengarkan radio, membaca koran,dan menulis berita. Mungkin karena saya semakin males, karena 'wis tuwek'. Hahahahaha.....

Sekalinya berusaha mengikuti berita, dari sekian berita yang saya baca, saya ketumpuan satu cerita ruwet. Ya. masalah bibit padi yang tidak menghasilkan itu. Tentu saya ketinggalan dalam berita ini. Tapi biarlah. Di balik pemberitaan ihwal bibit padi SuperToy itu, ternyata menyimpan kesimpang-siuran yang cukup memusingkan juga.

Okelah. Saya sebut simpang-siur, mungkin karena saya tergagap - gagap membacanya, maklum, kali inilah saya mengikuti berita. Dalam berbagai berita yang dilansir, bibit padi itu di-'klaim' akan berbuah hebat dalam tiga kali panen. Dengan volume sekitar 3-4 kali bibit reguler IR yang telah populer duluan. Masa panen pertama-pun tidak mengecewakan. Bahkan Pak Presiden merasa tenteram memandang panen raya pertama --di bulan april lalu-- produk SuperToy ini. Sang Mainan Super. Ya. Sang SuperToy sudah melewati masa panen pertama dari tiga yang dijanjikan, dan berjalan cukup baik. Maksudnya, kala itu hasilnya cukup baik, tonasenya hampir 4 kali jatah IR. Kala itu.

Prosesnya bila digambarkan sederhana adalah seperti ini. Ada petani dari Jogjakarta yang katanya mencoba - coba persilangan sehingga menghasilkan bibit ini. Trus ada perusahaan besar yang berniat membiakkan secara profesional. Kabarnya penelitian labolatorium sudah berjalan cukup, tinggal uji coba tanam lahan. Maka dilakukan kongsi antara para petani di daerah Jawa ini dengan perusahaan tadi. Jadilah, katanya penanaman di banyak tempat. Di awal tahun, petani dibiayai oleh perusahaan tadi untuk penanaman tahap pertama padi SuperToy ini. Gak cuma dibiayai, tetapi juga diawasi benihnya, masa perawatannya, pupuknya, segalanya deh pokoknya. Selang sekitar empat bulan, maka panen raya yang sukses dan menentramkan Pak Presiden tadi-lah hasilnya. Lumayan.

Masuklah pada fase kedua. Jangan buru - buru masuk ke fase kedua. Ada di suatu daerah, di Purworejo, yang menjadi salah satu simpul keruwetan. Menurut berita, hasil panen pertama yang cukup sukses itu seharusnya di-'bisnis'-kan kepada perusahaan yang berkongsi. Maksudnya, kongsi itu mulai penanaman, pemeliharaan --karena katanya padi ini punya trik khusus dalam pemeliharaan biar bisa panen sesuai kehendak--, hingga kongsi proses penjualan hasil panennya. Nah, menurut sebuah berita, ternyata hasil panen itu tidak di-lewat-kan perusahaan konsultan tadi. Langsung dijual petani entah kemana. Bisa jadi petani mengharap nilai jual pasar yang lebih baik. Karena demikian, maka untuk fase ke dua, perusahaan tadi tidak cawe - cawe lagi. Tidak ada supervisi dari perusahaan tadi dalam proses penanaman fase kedua, begitu aku-nya. Mungkin patah hati.
Namun sungguh luar biasa, entah memang karena petani belum mengerti trik menanam ala SuperToy atau bagaimana, ternyata pada fase kedua padi ini puso alias hampa, alias nggak ada hasilnya. Gila memang. Apa iya penanganan padi itu sedemikian khusus sehingga bila salah prosedur sedikit saja bisa berakibat fatal seperti ini ? Coba tolong pelajari lagi.

Kalau sudah demikian, maka amarah yang menambah keruwetan. Petani membakar padi mereka yang hampa tadi. Kabar terdengar hingga ke telinga Presiden dan Wakil Presiden. Walah. Perusahaan tadi dituntut oleh petani agar memberikan ganti rugi akibat kegagalan panen, karena status penanaman ini adalah uji coba tanam. Lha perusahaan tadi merasa tidak cawe - cawe di fase kedua, karena fase pertama sudah patah hati di akhir panen.

Sebagai pandangan sahaja,biasanya --entah kapan tepatnya, seingat saya semenjak pencanangan proyek swasembada beras di era orde baru-- memang masa awal tanam, varietas yang hendak ditanam telah tersertifikasi keberhasilannya. Di sertifikasi artinya telah di audit keberhasilannya oleh pihak ketiga, hal ini untuk meningkatkan public trust. Lha SuperToy ini ternyata kabarnya belum tersertifikasi, dan langsung menempuh visa khusus untuk tanam lahan. Bila memang demikian maka yang salah siapa jadi makin gak terarah. Mungkin semuanya memiliki kontribusi kesalahan yang signifikan. Perusahaan tidak melakukan sertifikasi, petani melanggar perjanjian penjualan paska panen.

Walaupun nggak persis, namun ini seperti sebuah mobil yang dinaiki oleh dua orang. Orang pertama adalah penumpang sekaligus pemilik mobil namun tidak membawa STNK, dan orang kedua adalah sopir yang tidak memiliki SIM. Ketika akhirnya tertangkap polisi karena melanggar rambu lalu lintas, mereka berdua saling berantem. Pemilik kendaraan menyalahkan sopir yang melanggar, sang sopir menyalahkan pemilik mobil karena tidak membawa STNK. Ruwet, sudah pasti.

Kita terbiasa ruwet, dan sangat kesulitan mengurai keruwetan tersebut. Kita terbiasa mengabaikan proses yang seharusnya, sehingga berharap lebih cepat namun berpotensi menimbulkan keruwetan yang luar biasa. Pengabaian proses sertifikasi, pelanggaran kesepakatan paska panen, patah hati yang memutuskan kerjasama, semua bisa bermuara menuju pembakaran panen hampa tadi. Ujung keruwetan yang belum tentu ketahuan pangkalnya ada dimana. Benar - tidaknya seperti apa, coba dicari lagi. Tapi, yang jelas, ruwet. Ya. Ruwet. "Seperti mau kiamat", begitu ungkap Hatta Rajasa, Menteri Sekretaris Negara.[] haris fauzi - 7 september 2008

salam,

haris fauzi

No comments: