Wednesday, June 03, 2009

kenisah : pomad... pomad ...

"POMAD....POMAD..."

Sekitar menjelang pukul sembilan malam, ditengah rinai gerimis yang sudah kelelahan, lamat terdengar melodi "Cinema Show" dari ponsel, pertanda ada pesan pendek yang masuk.
"Ayah pulang jam berapa ?", rupanya si Sulung berkirim pesan.
"Ayah sudah sampe terminal, bisnya ngetem. Sekitar setengah sepuluh sampai rumah",
balas saya.

Bis itu seperti kebanyakan bis lain yang melintas,  terseok - seok dengan gemuruh suara knalpot yang membahana menembus hujan, dipadati asap rokok para penumpangnya yang rata - rata bahu pakaiannya basah. Saya memeluk ransel duduk sambil sesekali meringis, penyakit pencernaan ini terus saja bercokol di perut saya. Sudah empat hari perut saya bermasalah.

Malam itu saya pulang naik bis tiga-per-empat. Gitu istilah orang - orang. Agak apes juga. Ketika hari itu saya memutuskan untuk mengistirahatkan mobil, malah turun hujan. Saya yang terbiasa dimanjakan berada di dalam mobil, kali itu sekaligus kelupaan tidak membawa jaket.

Entah kebetulan atau tidak, malam sebelumnya saya bermimpi tentang mobil saya. Dalam mimpi itu saya berkendara melintasi sebuah resto yang cukup besar dengan taman yang asri. Lengkap dengan cottage dan gazebo-nya. Indah. Saya tidak sendirian, ada beberapa mobil di depan dan di belakang berjalan beriringan lambat menikmati keindahan pemandangan. Beberapa mobil menepi dan singgah, saya terus melaju lambat. Setelah puas memandang taman asri di perjalanan, sadarlah saya bahwa ternyata jalan itu berujung tebing. Tebing yang melenakan. Nampak mobil di depan saya terhumbalang jatuh ke tebing dengan terbentur dinding tebing kiri dan kanan. Jatuh seperti genteng runtuh dari atap, terbentur dinding, dan lantas berkeping - keping terhempas ke tanah nun jauh di bawah sana.

Dalam cerita tidur alias mimpi itu, rupanya saya cukup sigap juga ternyata untuk punya kesempatan menginjak rem kuat - kuat sehingga mobil di belakang --yang belum mengetahui adanya tebing-- menekan klakson penuh amarah. Nyaris membentur. Saya tidak terlalu peduli dengan klakson, pikiran saya terpusat ke jalan buntu dan hendak berusaha memutar mobil, berbalik dengan susah payah. Dan setelah berhasil, beberapa mobil di belakang mengikuti berputar. Rupanya mereka baru sadar bila jalan ini buntu dan berhenti di curam tebing.

Namanya juga mimpi, pasti khayal. Nah, inilah khayalnya. Setelah memutar arah jalannya mobil, saya melintas kembali taman, resto, dan segala kemewahannya. Hebatnya, entah kenapa kemudian saya memarkir mobil butut di salah satu cottage yang cukup indah, dan kemudian saya tinggal di dalamnya. Setelah saya mengagumi keindahan korden yang ditarik - tarik istri saya, saya lupa kelanjutan cerita mimpi itu.

Namun kenyataan malam berbeda ceriteranya. Ditengah turunnya hujan yang nyaris membekukan kaki, saya membuang cukup banyak waktu di dalam bis yang merayap lelah. Bis yang sering mengumbar klakson bila terhalangi oleh sesama angkutan umum. Walau dirinya sendiri sering melintang berhenti di tengah jalan dan ini tentunya menghalangi laju mobil lain. Tak ayal, parade klakson pun bersahutan tanpa ampun. Bikin pekak. Membuat beberapa orang tersenyum kecut.
Sekitar empat puluh menit bis itu melaju, sang Kernet yang masih remaja itu berteriak - teriak,"... Winner...Winner....Pomad..Pomad...!!!". Teriakan yang membongkar ingatan saya. Sekitar sepuluh tahun lalu, saya sangat terbiasa menggunakan fasilitas angkutan umum bis tiga-per-empat ini. Sepuluh tahun lalu saya belum punya mobil. Sepeda motor satu - satunya jatah kantor kala itu sudah saya jual buat menambah kebutuhan dana bakal beli rumah yang sekarang saya tempati.
Teriakan sang Kernet itu memaksa saya mengingat jaman lalu, dan juga membuat saya segera beranjak turun dari bis, karena memang telah sampai tujuan. Saya harus turun di gang Pomad lantas melanjutkan menembus hujan dengan naik ojek, seperti sepuluh tahun lalu juga seperti itu. Kala itu ongkos naik ojek sekitar lima ratus rupiah, dan malam ini jasa angkutan ojek dihargai lima ribu rupiah. Beranjak sepuluh kali lipat dalam sepuluh tahun, seiring perjalanan waktu yang merenta, seiring kebutuhan ekonomi yang makin sulit.
Dalam sepuluh menit saya sudah mendarat di teras rumah yang semakin lapuk, termakan hujan dan terserang rayap. Terbebas dari nyeri dinginnya air hujan, saya mencium bau pertisida. Rupanya sore tadi ada kayu teras yang runtuh dari atap, membuyarkan pasukan rayap yang terhempas ke ubin. Dan Istri saya menghukumnya dengan semprotan serangga. "Duh, ada lagi yang harus dibayar...", keluh saya dalam hati sambil mendongak menyaksikan bongkah kayu yang terpenggal di langit - langit teras. Saya masih teringat tulisan rekan saya tentang harta calon presiden, krisis ekonomi, dan keterjepitan kondisi keuangan pribadinya. Saya membacanya kemarin.
Malam yang dicekam hujan itu telah lewat berganti pagi yang dingin dan berembun sejuk menusuk. Saya kali ini --lagi - lagi-- berada di balakang kemudi mobil butut. Menghela nafas, dan masih merenung ihwal fragmen - fragmen yang tersajikan di dua malam yang lalu. Antara mimpi berkendara di jalan bertebing dan mimpi cottage mewah. Antara kenyataan kehujanan naik bis dan kenyataan atap rumah yang digerogoti rayap. Antara masa lalu tanpa mobil dan habis - habisan untuk memiliki sepetak rumah. Hidup itu memang terisi dengan beberapa fragmen. Fragmen masa lalu yang kadang terbongkar kembali, fragmen mimpi yang kadang indah kadang mencekam, dan fragmen kekinian yang harus dihadapi. Mimpi belum tentu lebih indah dibanding kenyataan, dan masa lalu-pun begitu. Mereka bergerak seperti fluktuasi tarian ekualiser perangkat audio. Kadang lebih indah masa lalu, kadang lebih indah yang lain, dan itu tidak tentu. Terian itu tergantung untaian nada yang dimainkan. Namun yang jelas pagi ini kehidupan dimulai lagi. Kehidupan yang dirasa makin sulit dan makin sulit. Saya berangkat menuju timur, menantang mentari, diiringi melodi Joe Satriani. [] haris fauzi - 3 Juni 2009


salam,

haris fauzi

2 comments:

Anonymous said...

Ngimpi nyambung karo kejadiane, iku elmu diuthak-athik gathuk wong Jowo yo Ris !

Haris Fauzi said...

kalo ilmu filsafat psikolog, artine kejadian yg terkait namun tidak terkait...mbulet yo ?...hahahaha