Fusion adalah nama yang terlanjur disematkan kepada salah satu genre dari musik jazz yang mulai merebak di era tahun tujuh puluhan. Salah satu pelopornya adalah Miles Davis. Sementara hingga kini tercatat tak kurang dari David Benoit, Lee Ritenour, SpyroGyra, Mezzoforte, FourPlay adalah beberapa bintang jawaranya. Fusion memiliki format yang menguntungkan, karena dia adalah percabangan dari mainstream jazz yang bersentuhan dengan dua hal, irama pop dan kemajuan teknologi instrumen. Oleh karena inilah fusion segera mendunia karena blantika pop terus berkembang, dan pula, alat musik mengiringi tren kemajuan teknologi. Dalam format fusion, jazz menjelma menjadi easylistening sekaligus ‘canggih’.
Menurut pengamat musik Surjorimba Suroto, memperbincangkan musik itu bisa tiga hal: apresiasi, pernyataan sikap, dan atau ungkapan hati. Sementara dalam teori komunikasi, karya itu serupa dua sisi, sisi pertama sebagai cermin kondisi sosial, sementara sisi yang lain adalah sebagai agen propaganda. Inilah mengapa musik bisa ditinjau secara terkait dengan kehidupan sekitar, dalam beberapa dimensi kehidupan manusia baik kaya – miskin, tua – muda, atau dari perspektif yang lain.
Semesta musik sejauh ini lebih sering dikupas dalam paradigma kaum muda. Seakan kaum muda lebih dominan dalam berkiprah di semesta musik, setidaknya demikianlah wujud musik dalam penjelmaan usia. Bahkan ketika ‘orang tua’ berbicara tentang musik, mereka seakan tak bisa menghindar untuk memperbincangkan musik – musik yang berkeliaran di masa muda mereka. Dan bila memang demikian, musik apa sajakah yang di-apresiasi dan menjadi pernyataan sikap kaum muda ?
Jawabnya paling gampang adalah musik pop yang bertebaran di mana – mana. Pop benar – benar popular di kalangan muda, orang tua, dan bocah sekaligus. Mungkin sejauh ini, genre yang melekat sebagai identitas kaum muda adalah musik rock dan heavy metal. Musik yang menyentak keras adrenalin ini memang sangat kongruen dengan pola bangun psikologis anak muda yang menuntut petualangan, menabrak hukum, bentuk idealisme, dan pencarian jati diri. Atau bila ada alternatif lain untuk anak muda, maka bisa jadi musik disko menjadi tawaran. Rap, disko, dan house music cukup identik dengan kerlip diskotik dan pergaulan anak muda.
Bila kita mengingat, era delapan puluhan pernah juga kaum muda dilanda demam fusion. Seiring pasang naik musik pop, di tengah kencang genderang musik rock, genre fusion ikut berpacu merebak di dunia, dan berdampak hingga ke tanah air. Generasi remaja Indonesia-pun merespon degup indah ritmis fusion. Salah satu sebabnya adalah musik fusion memiliki ciri mengikuti tren teknologi, sehingga mampu menjadi kesatuan dengan jiwa muda yang mengedepankan teknologi sebagai mode. Kaum muda tak canggung untuk mengapresiasi musik fusion dan bahkan tak sungkan memproklamasikan fusion sebagai ikon mereka.
Deru kencang genre fusion di tanah air tak bisa dilepaskan dari kiprah kelompok ‘Karimata’. Karimata cukup stabil mengawal fusion di Indonesia. Dengan sesekali sentuhan etnik, karya – karya Karimata mencoba menembus dominasi musik rock menyapa telinga kaum muda. Dan Karimata berhasil. Dari lima album yang diluncurkan, setidaknya ada tiga album Karimata yang menjulang menjadi ikon generasi muda kala itu. Racikan bermusik Karimata di album perdana, ‘Pasti’ (1985), sungguh berhasil membuat kaum muda kepincut. Walau tak bisa dipungkiri begitu saja persinggungannya dengan genre musik pop Indonesia dengan mengetengahkan vokalis kaliber festival jelas – jelas mengangkat performa album ‘Pasti’. Perlu diingat persinggungan ini tidaklah seperti apa yang dilakukan oleh Yovie & the Nuno di tahun dua ribuan ini. Yovie & the Nuno lebih intens bermain di blantika pop, sementara Karimata lebih mengedepankan porsi fusion.
Karimata merilis album kedua tahun 1987, berjudul ‘Lima’. Album ini semakin mengukuhkan posisi fusion di tahta terhormat blantika musik anak muda Indonesia. Salah satunya karena prestasi lagu instrumentalia ‘Lima’ yang menjadi demikian populer. Tentunya fakta ini menjadi jawaban pasti, bahwa generasi muda kala itu cukup antusias merespon genre ini.
Kiprah Karimata dilanjutkan dengan merilis album ketiga ‘Biting’ di tahun 1989. Album ini cukup berkilau namun tidak sepopuler ‘Lima’. Salah satunya karena suasana pasar musik nusantara sudah kurang kondusif untuk genre fusion. Musik pop mulai mengalami kejenuhan, dan kawula muda melirik mainan baru, musik digital dan disko. Serbuan musik digital ini cukup dahsyat seperti halnya play-station yang demikian populer. Bahkan di percaturan musik dunia, musik digital berhasil meng-influensi genre rock dan jazz. Pada akhirnya terdapat paradigma bahwa perangkat digital adalah definisi fisik perangkat itu sendiri, sebagai elemen yang merekayasa musik dan bisa berdiri di genre musik apapun. Di kubu musik joget, diskotik juga merebak deras merespon pasar muda yang gandrung joget diiringi musik disc-jockey.
Para pendekar fusion bukannya tidak berasimilasi dengan kemajuan ini. Cukup banyak yang 'survive' terutama dengan pendekatan terhadap akselerasi pesat perangkat digital, namun kasus di Indonesia agak spesifik. Pasar di tanah air punya sikap latah sehingga banyak duplikasi lagu yang laku pasar sehingga membuat pekat dan terjadi semacam kebablasan. Hukum pasar yang seakan memaksakan dengan memopulerkan musik yang laku akhirnya melatahkan para pemusik dengan membuat karya – karya yang seragam. Dan hasilnya, pasar musik nasional yang pekat dan jenuh. Kondisi ini berkontribusi terhadap arah pergeseran ‘selera’ generasi muda. Bagaimana duplikasi lagu disko dangdut, misalnya, demikian merajalela diekspos besar – besaran sebagai komoditi yang menggiurkan produser pada ujungnya membuat kawula muda seakan kehilangan alternatif pilihan musik yang hendak mereka apresiasi.
Di tahun 1990, dimana kondisi semakin kurang berpihak kepada genre fusion, Karimata merilis album ‘self tittle’ bersama Dave Valentin. Setahun kemudian Karimata merilis album kelima berjudul ‘JEZZ’. Di dua album ini Karimata menyajikan musik yang 'mature', musik dewasa yang seakan menjadi salam perpisahan kepada generasi muda. Generasi muda Indonesia khususnya, karena album --terutama 'JEZZ'-- yang berkonsep 'mature' ini bermaksud go-internasional dengan kartu truf menggandeng musisi ternama seperti Lee Ritenour dan vokalis Phil Perry.
Tahun 90-an menjadi titik awal bagaimana di tengah bahana musik rock yang masih kencang, di tengah menjamurnya musik disko dangdut, generasi muda tanah air mulai merespon bentuk musik alternatif pop romantis. Dan Karimata bersama fusion-nya bergerak ke pinggir mengikuti usia pendengarnya yang juga menua setelah hampir satu dekade menjadi idola kawula muda.
Album 'JEZZ' bisa jadi menjadi penutup karir kilau Karimata di dunia musik. Namun setidaknya dalam rentang waktu itu album – album Karimata bisa menjadi salah satu bukti bahwa generasi muda pernah meng-akrab-i, mengapresiasi, dan menyatakan bahwa musik fusion menjadi musik generasi muda. Fusion pernah mencengkeram kuat dalam kehidupan mereka. Dan mungkin akan terulang entah pada generasi kapan. [] haris fauzi
2 comments:
hadir
gati
sip ...kembang kertas/gati/abrakadabra/violet... :)
Post a Comment