Monday, November 16, 2009

kenisah : catatan tentang warung

CATATAN TENTANG WARUNG

Bisa jadi cuma di hari libur saya punya kesempatan rutin mendorong kereta Dea, --yang sekarang berumur 7 bulan,-- kelilingan kampung. Di hari Minggu biasanya dua kakak-nya ikutan mengiring sambil mengayuh sepeda dan berisik membunyikan lonceng sepeda masing – masing. Si Sulung rupanya cukup punya 'kharisma' di kalangan teman - temannya. Ketika sedang bermain sepeda, maka dia cukup memanggil – manggil anak tetangga, maka tanpa perlu repot – repot beberapa temannya berbondong – bondong memenuhi ajakan Si Sulung ikutan bermain sepeda. Jadilah karnaval pagi, dan kebanyakan belum pada mandi termasuk saya. Sementara bila tidak repot membersihkan rumah, Istri saya juga ikutan. Sedikit berbeda di hari Sabtu, karena Si Sulung harus masuk sekolah, maka tidak sehingar – bingar hari Minggu.

Seperti biasa, dialun goyang roda kereta dorong yang bergetar ritmis melewati jalanan konblok, Dea terkantuk – kantuk. Apalagi hawa memang segar karena hampir setiap hari hujan turun di waktu sore. Tak pelak, udara pagi cukup sejuk. Dingin malah. Kadang saya berhenti di suatu tempat agar Dea mendapat terpaan cahaya mentari. Kadangpula berhenti di bawah pohon besar karena beragam burung beradu kicau di atas dahan. Dan kadangpula saya berhenti karena bersua dengan para tetangga dan kenalan. Saya menyempatkan mengobrol se-asik – asiknya. Mereka toh juga lagi bersantai juga, walau mereka tak sambil mendorong – dorong kereta orok. Beberapa mereka sebenernya juga memiliki anak yang seusia dengan Dea, atau Si Sulung Salma, atau Si Tengah Norma. Namun kebanyakan mereka memercayakan kepada pengasuh.

Dua hari itu saya menempuh rute yang sama, melintas taman, menuju pos satpam, dan hendak berputar di pangkalan ojek. Bolak - balik beberapa kali. Di pos satpam bersapaan dengan Satpam, di pos ojek ngobrol dengan tukang ojek. Di seberang nampak jelas ada rumah yang tengah direnovasi cukup dahsyat. Kayu bekisting berjajar seperti prajurit romawi kuno yang hendak maju bertempur. Rapi, seragam, sebangun, rapat. Bisa jadi sudah sebulan rumah itu direnovasi. Saya ingat, di ujung rumah itu, dulu adalah tempat jualan bakso. Ada kedai atau warung bakso namanya 'bakso Pak Eko'. Mungkin sudah sekitar lima tahun –bahkan lebih—kedai itu selalu berkibar di malam hari, menawarkan bakso panasnya.

Entah, kemana beliau berjualan sekarang. Menurut Pak Ucok, tukang ojek yang biasa mangkal, Pak Eko memang sudah tidak tinggal disitu lagi, karena yang punya rumah sudah ganti. Pak Eko yang sudah sekian tahun berjualan itu sekarang raib. Dia tidak lagi berjualan di pojok rumah yang memang semula tak berpenghuni itu. Pak Eko cuma menggunakan se-pojok pekarangannya sahaja, dan dia harus 'legowo' ketika rumah itu berganti pemilik. Karena pemilik yang baru ingin merombak keseluruhan rumahnya, mangkanya warung Pak Eko harus direlokasi.

Pak Eko pastilah –entah dimana kini-- berjuang kembali untuk mendapatkan pelanggan, yang bagaimanapun, waktu sekian tahun sudah berjalan dengan beberapa pelanggan tetapnya. Pelanggan yang –walau tidak banyak—setia mengunjungi warungnya, untuk mendapatkan bakso jualannya.


Menurut lidah saya, bakso yang ditawarkan di warung pak Eko tidaklah terlalu istimewa. Lebih lima tahun beliau berjualan, saya tidak rutin membeli barang sekali dalam setiap minggu. Walaupun tidak istimewa dari segi rasa, namun rasa bakso racikan Pak Eko tersebut tidaklah mengecewakan, sedang –sedang saja rasanya. Harganya-pun cukup bersahabat, kisaran lima ribu rupiah seporsinya. Pembeli yang datang tidak berjubel, tidak pula kosong melompong. Namun selalu ada setiap kami sambang kesana.

Yang saya catat dalam benak, Pak Eko memang konsisten membuka warungnya. Kita tidak perlu was – was khawatir Pak Eko tidak berjualan. Pak Eko selalu membuka warungnya setiap malam. Masuknya saat maghrib setiap menjelang malam, seakan menjadi kepastian Pak Eko menyalakan lampu warungnya. Bila bukan dari segi rasa, maka inilah kelebihan warung Pak Eko. Ketika saya membutuhkan, warung baksonya selalu kedapatan tengah buka. Cahaya lampu warungnya membuat kami lega, yang berarti kami nggak perlu cari makanan di warung atau kedai yang lain. Dalam keadaan seperti ini, soal selera rasa jadi nomer dua.

Rupanya Dea sudah terlelap di kereta, ketika saya tengah asik ngobrol soal warung. Segera pamit kepada para tukang ojek, hendak melanjutkan mendorong kereta lagi. Sebelum jauh melangkah, seorang tukang ojek sempat berkomentar,"…. Pak,..yang punya rumah itu kabarnya hendak berjualan bakso juga. Kebetulan juga namanya sama, pak Eko juga…". Saya terhenyak. Dalam hati terlintas pikiran bahwa betapa beruntungnya pemilik rumah itu, karena mendapatkan 'trade-mark' positif dari tukang bakso yang dulu mangkal di pojok rumahnya. Yang kini entah dimana harus memulai segalanya dari awal. [] haris fauzi – 16 Nopember 2009



salam,

haris fauzi

No comments: