Thursday, November 19, 2009

kenisah : handsball dan aparat pengadil

Sudahlah, ini cuma sekedar tulisan iseng. Gara - gara mengikuti berita ihwal per-cicak-an, dan pagi tadi nonton sepakbola, saya jadi teringat gol 'Tangan Tuhan'. Cerita tentang Tangan Tuhan merebak ketika di Meksiko seorang pesepak-bola bernama Diego Maradona membobol gawang Inggris di Piala Dunia 1986. Kejadian yang sungguh fantastis. Maradona yang pendek badannya beradu rebutan bola yang tengah melayang di atas dengan Peter Shilton, kiper Inggris yang jangkung.

Maradona --yang seharusnya hanya diperkenankan mengandalkan kepalanya-- ternyata memenangkan duel udara melawan kiper yang jelas - jelas lihai menggunakan kedua tangannya. Hasil yang ajaib. Lha wong berdiri saja Maradona kalah tinggi, kok ini si Peter Shilton menggunakan tangannya diangkat. Tapi kenyataannya Maradona unggul dan mampu mencetak gol. Dan gol itu di-sah-kan oleh wasit.

Jaman dulu memang belum ada teknologi video yang super canggih sehingga bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Apakah bola itu menyentuh tangan, ataukah menyentuh udel-nya. Maka, sah - sah saja kalo gol kontroversial itu disetujui wasit. Walau beberapa tahun kemudian setelah teknologi semakin maju, maka beberapa pengamat sepak bola yang super penasaran --setelah menyaksikan rekamannya-- terbersit rasa yakin bahwa Maradona menggunakan tangannya di kejadian Meksiko yang kemudian kondang dengan "Tangan Tuhan' itu. Yo wis, wong wis kadhung.

Pagi tadi, ada kejadian serupa. Ketika tim sepak bola piala dunia Perancis ketinggalan satu gol melawan Irlandia. Konon ini pertandingan hidup - mati menuju Piala Dunia kelak, surga-nya para pesepak-bola. Kalo kalah ya monggo lengser sahaja.

Cerita singkatnya, Irlandia unggul satu gol hingga pertandingan memasuki babak perpanjangan. Tentunya ini membuat skuad 'mantan juara dunia' Perancis kelabakan. Hingga memasuki menit ke seratus tiga - Perancis mendapat hadiah tendangan bebas dari lapangan tengah. Kaki di ayun dengan kuat. Tak ayal bola terbang melambung memasuki kotak pinalti Irlandia. Tidak sempat menyentuh tanah --seingat saya--, bola segera disundul menuju pinggir mengancam gawang Irlandia. Thierry Henry --striker gaek Perancis-- mencoba mengejar bola, namun rasanya bola terlalu laju hingga bisa jadi bakal terbuang ke samping kanan gawang. Naluri Henry bertindak, cepat dipalangkannya tangannya supaya bola itu tidak nyelonong keluar, dan setelah itu Henry bersicepat mengumpankan bola itu ke tengah muka gawang yang lantas di sambut kawannya, Si Gallas. Gallas memang trengginas.Terjadilah gol.

Berkat gol di babak perpanjangan yang mencekam ini, Irlandia terjungkal dari babak 'play-off' gila-gilaan ini.

Saya menyaksikan pertandingan tersebut di layar televisi sambil menyiapkan sereal bakal sarapan anak. Sekilas menonton, kontan saya menduga terjadi handsball. Hanya menduga. Pun pula sempat terdengar Sang Komentator terpekik,"..handsball...". Dan begitu tayangan ulang --lewat gerakan lambat-- kembali Sang Komentator terpekik,"..clear handsball...".

Tentu saja --tayangan berikutnya adalah tanpa bisa dibendung beberapa pemain Irlandia memrotes keras terjadinya gol yang sulapan ini. Siapa pula yang mau kebobolan dengan cara yang nggak ada enak - enaknya sama sekali seperti itu. Huh. Apalagi --dari televisi nampak jelas, bahwa tangan Henry menyentuh bola, mirip pemain voli.

Protes para pemain Irlandia terbentur karang. Aparat keadilan -- sang juri dan sang hakim-- tetap bersikukuh bahwa gol itu benar sah adanya. Untungnya tidak terjadi tawuran.

Versi saya, versi pemain Irlandia, dan versi komentator rupanya berbeda drastis dengan versi pengadil. Wasit dan hakim garis yang bertugas sebagai aparat penegak keadilan ini berpendapat dengan kukuh gagah perkasa bahwa gol tersebut sah. Tidak terjadi handsball. Mungkin sedang berkedip sehingga hal itu tidak nampak. Okelah, apapun alasan bisa saja dibuat, toh tidak perlu kulak. Hingga pagi hari di berita - berita dalam jaringan internet hampir semua memberitakan ihwal 'handsball' yang menjadi Tangan Tuhan versi Thierry Henry ini.

Tentang sepakbola, ada aktor yang berlaga saling serang seperti dua pesaing. Dan tentunya dengan Wasit dan hakim garis yang berfungsi sebagai penengah, aparat keadilan. Hal ini seperti terdapat dalam berbagai pertandingan, bisa pertandingan tinju, bisa pertandingan karambol, bisa juga pertandingan bocah, bisa juga politik, atau apapun. Bisa juga pertandingan adu jangkrik, atau adu binatang ternak, ataupun perseteruan binatang melata. Bila itu semua adalah konfrontasi, maka bisa jadi itu adalah pertandingan. Dan pertandingan sejatinya menuntut adanya sportivitas. Baik sportivitas yang bertanding, juga sportivitas aparat pengadil. Bahkan juga sportivitas penonton dan para penjual asongan yang sering kita jumpai di dekat stadion sepak bola. Mengapa pihak aparat pengadil harus ikutan sportif ? Ya. mereka juga mutlak menjunjung sportivitas karena bila di satu fihak yang bertanding berbuat curang, tentunya aparat keadilan inilah yang 'membereskan'. Begitulah teorinya.

Ya. Itu semua adalah teori tentang sportivitas. Alangkah gampangnya ngomong ihwal sportivitas. Dalam prakteknya, ternyata sulit. Seringkali dalam sebuah pertandingan kita jumpai ada pihak yang berbuat curang. Dan kejadiannya makin jadi tidak menentu ketika aparat pengadil ternyata malah berpihak dan secara sengaja melindungi yang salah. Dan yang paling menjengkelkan adalah ketika seluruh penonton, pemerhati, dan berita - berita yang beredar semua ber-opini tentang pihak yang salah, namun, aparat keadilan ini tetap saja bersikukuh membela yang salah. Bahkan aparat pengadil ini bisa saja membela dengan sumpah segala. Sumpah di tengah sumpah-serapah orang lain yang geregetan. Bila memang hal seperti itu terjadi, maka, siapakah yang salah ? [] haris fauzi - 19 november 2009

No comments: