Tuesday, August 14, 2007

kenisah : mbambong

MBAMBONG
 
Begitu kata Istri saya. Awal ceritanya begini, karena jarak kantor dengan rumah yang cukup jauh, yakni sekitar 100 kilometer --jadi pulang balik 200 kilometer-- maka saya dan keluarga membuat sebuah kesepakatan. Latar belakang kesepakatan adalah karena jarak yang jauh pasti memakan banyak biaya, energi, dan waktu. Awalnya itu, apalagi sekarang jaman paceklik kayak gini. Kesepakatannya singkatnya demikian, saya akan pulang dari kantor dua hari sekali, atau kepepetnya seminggu dua kali.
Ya. Saya memang musti bolak - balik menempuh cara itu. Lantaran memang rumah disepakati untuk tidak perlu mendekati kantor. Klausul utamanya adalah posisi kantor yang jauh, bukan lokasi rumahnya yang jauh. Jadi ya rumahnya-lah yang menjadi koefisien tetap. Mempertahankan posisi rumah ternyata banyak juga alasannya. Dasi sisi  anak  - anak sudah pada sekolah dengan mapan --tidak mudah untuk memindahkan sekolah mereka begitu saja. Komunitas yang  dibentuk oleh keluarga kami terhadap masyarakat sekitar sudah terjalin baik. Begitu baiknya malah termasuk dengan para tetangga, pembantu, tukang rumput, tukang genteng, tukang sayur, pengurus mesjid, guru ngaji, tukang roti dan lainnya.
Di samping itu kondisi aman lingkungan membuat betah. Jangankan disantroni orang yang berniat jahat, lha wong mobil saya dengan posisi jendela terbuka dibiarkan semaleman saja tidak masalah kok. Padahal itu mobil parkir di pinggir jalan, saya memang sudah beberapa tahun ini malas memasukkan mobil ke carport karena carport sudah jadi arena permainan kedua anak saya, sepeda pancal parkir seenaknya saja di situ, bola dan mainan bertebaran. Jadi kalo mau markir mobil musti mberesin itu semua. Walah.
 
Dan, belum tentu juga bila kami pindah rumah mendekati kantor, maka akan lebih sejahtera dan merasa 'kepenak' walau bisa dipastikan duit transport bakal bisa ditabung lebih banyak. Memindahkan rumah sebagai domisili butuh pemikiran lebih panjang ketimbang membeli atau menyewa rumah itu sendiri. "Masih banyak kemungkinan yang mungkin terjadi", gitu kata saya. Tidak ada yang bisa memprediksi apakah bakal seumur hidup saya berkantor sejauh itu. Tidak ada jawaban dan kepastian untuk itu. Bahkan berbalikan. Anak saya jelas dipastikan minimal lima tahun lagi harus bisa lulus dari sekolah dasarnya sekarang. Posisi anak lebih jelas bila dilihat dari matriks sisi domisili versus faktor waktu ketimbang saya. Daripada anak yang pontang - panting, mendingan saya sajalah.
 
Jadi ya rencananya mencari kos di daerah dekat kantor.  Rencana sih tinggal rencana. Hal yang terbukti tidak gampang, karena setelah hampir sebulan saya pulang dua kali seminggu ternyata malah belum dapat kos - kosan jua. Bukan hanya kos - kosannya yang gak dapet. Semangat untuk mencarinya juga meredup. Kakak saya bahkan melarang untuk nge-kos. Dia menyuruh menginap sesekali di rumahnya aja. Ini pilihan bagus, saya meletakkan pilihan ini pada prioritas pertama. Pulang kantor nginep ke rumah kakak. Jaraknya 40 kilometer dari kantor, cukup pas untuk berkantor sehari seperti orang kebanyakan bukan ?
 
Tapi bukan itu mengapa saya disebut istri saya pengembara atau dalam bahasa jawanya 'mbambong'. Jadi ceritanya begini. Memang rencananya pada sore itu saya pulang ke rumah kakak saya. Tetapi ba'da maghrib saya musti ada acara di dekat kantor, trus baru selesai sekitar jam sembilan malam. Ya jadinya lupa makan. Dalam perjalanan ke  rumah kakak, saya istrirahat makan malam dulu. Saya memilih makan di peristirahatan jalan tol. Istilah sekarang adalah TI; Tempat Istirahat. Jelas di situ ada resto.
 
Di tempat istirahat itu saya makan malam, trus sholat Isya di mesjidnya yang baru dan bagus itu. Lha karena seragam kerja sudah saya lepaskan sebelum saya mengikuti acara habis maghrib tadi, maka saya sudah merasa enteng, ga pake seragam lagi. Selesai makan saya nggak langsung cabut, melainkan memutuskan untuk sejenak menikmati malam lewat windshield mobil, memandang bintang dan langit seperti hobi saya pas kecil dulu. Tak lupa pula saya setel audio yang menurut saya merupakan teman terbaik saya di dalam mobil. Suara gitar terdengar rapat dan kencang, saya nyetel Stratovarius. Lengkap dengan seat yang saya rebahkan hingga rata seperti 'amben'. Sebetulnya ada sepucuk novel yang tergenggam di tangan saya, tapi kali ini mata saya lebih menyukai bintang malam ketimbang deretan huruf. Dan gelap lagi.
 
Entah karena keasyikan atau karena ngantuk yang tidak tertahankan, maka saya jatuh tertidur dibuai angin malam yang semilir melewati celah dua senti jendela mobil. Juga mungkin karena alunan musik yang membuat makin ngantuk. Pokoknya saya tertidur kira - kira pukul sepuluh malam di pinggir jalan tol itu. Mungkin kurang. Soalnya saya pas merem tentu nggak sempat menengok arloji.
 
Terdengan bunyi mobil diesel cukup kencang membangunkan saya. Mobil itu baru saja parkir dan membuang gas dengan cukup keras di samping mobil saya. Kaget, saya raih ponsel di laci mobil. Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Sinting ! Saya tertidur di pinggir tol selama lima jam. Karena tidak mungkin untuk melaju ke rumah kakak saya, maka tanpa pikir panjang saya melanjutkan tidur yang sempat terpotong tadi.
Sampai subuh menjelang, lantas saya sholat subuh, mandi, dan sarapan di disitu juga ... Ternyata segala fasilitasnya ada, komplet, dan nggak buruk, ---mungkin karena masih baru. Lantas setelah mencuci mobil sampai mengkilat,  tanpa terburu - buru saya kembali berangkat menuju kantor. Kerja lagi, PakDe ! Dan ternyata tidak masalah. Badan tetap bugar, mungkin karena tidur lelap dan bangun hampir kesiangan malah. Kalau toh di rumah, saya memang beberapa kali tidur dimana aja, mulai dari karpet, tikar, sofa, kursi. Jadi jok mobil sudah merupakan barang nyaman bagi badan saya, kursi makan-pun OK, apalagi matras dacron. Haa... haa.. haa....
 
Kejadian ini saya ceritakan kepada Istri saya keesokan harinya. Dia tertawa dan akhirnya menyebut saya dengan gelar pengembara. Dalam bahasa Jawa disebut 'mbambong'. Sebetulnya ini bukan pertama kali saya bertindak seperti ini. Dulu saya pernah mengalami beberapa kali 'mbambong amatir'. Pengembara amatiran. Tidur dan mandi di tempat umu, yang bagi sebagian kalangan merupakan tempat yang nggak lazim. Bagi sayahal ini malah menjadi semacam 'pembelajaran' untuk menikmati ke-tidak-lazim-an tersebut. Kala mahasiswa beberapa kali saya musti tidur di terminal, stasiun kereta api, warung... lantas mandi di mesjid atau tempat mandi umum. Itu dulu jaman kuliah. Kalau ada perjalanan ke kota lain, --atas nama mahasiswa--, maka harus siap naik bis ekonomi hingga mandi di terminal. Teman - teman menyebutnya dengan 'tour de proletar'. Dan gampang saja menjalaninya, yang penting siap. Harus dirasakan sebagai salah satu bentuk petualangan yang tidak lazim, akhirnya gak jarang malah jadi mengasikkan. Yang paling komplit dan cukup higienis fasilitasnya biasanya mesjid.
 
Bentuk lain dari hal itu adalah menginap di kampus. Urusannya bisa macam - macam, mulai dari urusan kemahasiswaan sampai urusan 'rapat rahasia'. Belum lagi bila musti bikin laporan, mengerjakan praktikum, mengejar jatuh tempo penerbitan majalah atau apalah dimana saya harus menginap di kampus. Toiletnya jangan ditanya lagi. Namanya mahasiswa, ya berantakan. bahkan teman saya malah berbagi handuk. Walah, jan kemproh pol arek - arek iku.
 
Pernah suatu ketika saya harus mengunjungi pacar saya. Domisilinya berada di luar kota. Enam ratus kilometer dari domisili saya. Saya biasa menempuh perjalanan dengan kereta api bisnis. Ini-pun masih terbilang 'tour de proletar'.  Setelah turun dari kereta api, maka saya segera mandi di toilet yang ada di stasiun kereta api.
Repotnya saya membawa tas ransel. Apa asiknya membawa tas ransel buesaaar kaya gitu ke pacar ? Akhirnya siang itu saya masuk ke supermarket dan saya menitipkan ransel tersebut ke bagian penitipan barang. Sang penjaga saya yakin tidak akan menghafal saya. Malamnya saya ambil lagi sepulang dari kos pacar saya. Namun tindakan ini bukan tanpa  masalah, ternyata saya pernah hampir kemaleman sehingga supermarket itu hampir  tutup. Cilaka kalo tutup, saya harus menunggu pagi hari untuk mengambilnya. Lain waktu saya menemukan penitipan yang lebih cocok : kotak deposit di stasiun kereta api. Disini musti bayar, gak masalah. Jadi setelah mandi beres, baru menitipkan barang, trus nyengklak bis kota. Beres. Ransel aman, saya enteng.
 
Memang masalahnya adalah ketika harus membawa keluarga. Saya tidak akan membiarkan mereka tidur dan mandi sembarangan seperti apa yang saya lakukan. Tetapi bila sendirian dalam perjalanan luar kota misalnya, saya lebih mudah untuk menepikan mobil lantas tidur disitu. Yang penting lingkungannya teramati berkesan aman, beres. Toh bukan saya saja yang bertindak seperti itu. Banyak yang juga melakukan hal serupa.
Memang hal tersebut bukanlah hal yang lazim. Bahkan kadangkala 'emoh' dilakoni. Terbukti saya sendiri emoh melakoni hal tersebut buat anak - istri saya. Namun entah kenapa saya malah menikmatinya. Saya jadi bisa mengerti mengapa ada beberapa hal yang mungkin bagi kita belum terlalu faham maka membuat kita tidak maklum. Kita belum merasakan tidur dan mandi di mesjid, sudah merasa tidak nyaman untuk mencobanya. Ya bukannya harus mencoba. Tetapi ada semacam belenggu di diri ini untuk hal - hal yang tidak lazim. Belenggu ini yang sebaiknya dibuka. Sehingga diri ini lebih terbuka terhadap segala kemungkinan. Tapi ya itu tadi, tidak gampang. Saya seringkali menikmati suasana yang kadangkala 'nyeleneh' itu, namun saya tidak bisa membiarkan anak saya yang masih kecil untuk mengalami hal itu terlalu dini. Tetapi sekali lagi, saya pribadi malah berusaha menikmati hal itu, termasuk tidur di mobil dan mandi di mesjid. Jadi asik gitu. Entahlah anda gimana. Ha... ha... ha....[] haris fauzi - 13 Agustus 2007


salam,
haris fauzi
 


Park yourself in front of a world of choices in alternative vehicles.
Visit the Yahoo! Auto Green Center.

No comments: