Tuesday, August 07, 2007

kenisah : orang - orang proyek

ORANG - ORANG PROYEK
MENURUT AHMAD TOHARI
 
Judul di atas adalah judul novel --insya Allah-- novel terbaru dari penulis pinggiran Ahmad Tohari. Ahmad Tohari mocer lewat novel - novel kampungnya seperti 'Ronggeng Dukuh Paruk' dan 'Belantik'. Membaca novel ini rasanya seperti hidup di tahun 1980-an. Di masa jaya single majority. Lingkup politik adalah single majority. Novel ini memang ngomongin soal politik. Selain itu settingnya juga di desa yang agak terbelakang. Sebuah desa yang perlu dijadikan wahana KKN mahasiswa, Kuliah Kerja Nyata. Gambarannya seperti itu.
 
Tulisan Tohari yang menggambarkan masyarakat desa ......atau tepatnya masyarakat kampung --sungguh komplet. Mungkin memang Tohari hidup dan mencerna detik per-detik masa yang dikunyahnya dengan tinggal di daerah seperti ini. Asli komplet. Bahkan bagi saya terlalu komplet ikon-nya sehingga terlalu banyak ide yang seharusnya bisa dikembangkan dengan jalinan yang lebih halus. Dan kalo ini dijalani Tohari maka bakal membuat lebih tebal buku. Atau bisa jadi Tohari memang ingin ringkas --gak perlu tebal-tebal--, sehingga novelnya bisa dibaca dengan cepat dan pembaca mengerti pesan apa yang hendak disampaikan oleh Tohari. Kalau ihwal ini jelas, Tohari memang ceplas - ceplos. Mungkin Tohari memang memegang kunci utama di buku ini : Pesan. Terbukti dengan cetakan kertas HVS dan cover eksklusif --nggak kampungan blas--, dan keluaran penerbit Gramedia, harga tiga puluh satu ribu jelas terbilang murah untuk buku setebal 220 halaman ini.
 
Menganai gaya tulis Tohari disini, jelas - jelas dia berusaha 'ngampungi'--, lugas, cepat, dan gak macem - macem. Setengahnya membela kehidupan kampung. Lihat saja bagaimana Tohari menyisipkan parade hiburan orang proyek dengan tokoh yang yang bernama Tante Ana  Si Bencong dari tepi terminal yang pernah menggagalkan perdagangan bocah. Detil dan simpel, namun tidak dibuat - buat. Dan Tohari saya nilai berhasil dengan sukses walau ada salah cetak sana - sini di buku ini yang cukup mengganggu. Dalam hal menulis orang kampung, Tohari bisa bersaing dengan Danarto. Namun Danarto cenderung nyentrik dimata saya, sementara Tohari lebih 'sakkarepe dhewe'. Lho ? Nyentrik dengan sakkarepe dhewe' bedanya apa ya ? Persamaannya adalah mereka berdua cenderung religius-kultural, namun tidak totaliter. Malah banyak bicara soal politik. Bagi mereka, mungkin politik lebih berpengaruh kepada masyarakat ketimbang agama,..ha.. haa.. haa.... Ini sih asumsi pribadi saya. Tetapi, Tohari dan Danarto keduanya selalu menemukan kesetimbangan yang baik antara segitiga religi, kultur, dan politik. Namun kali ini, fokus utamanya adalah politik.
 
Lihatlah ihwal kepartaian yang ada tiga. Dengan partai dominan Golongan Lestari Menang, sementara oposisinya berwarna merah dan hijau. Dimana oposisi-nya juga orang partai Golongan Lestari Menang. Lho ?  Belum lagi Kepala Desa sebagai kader Golongan Lestari Menang, yang lantas disibukkan dengan urusan kepartaian. Pesan Tohari jelas sekali disini : Mereka lebih sibuk ngurusin partai ketimbang ngurusin rakyat. Oh ya, di novel ini terus terang Tohari menulis setting waktunya ya dengan sebutan jaman orde baru.
 
Sampai sebal si Kabul dengan segala tetek bengek politisasi itu. Setting ceritanya sebenernya pusatnya ada di masalah pembangunan jembatan di suatu desa. Kabul adalah pimpinan pelaksana proyek pembangunan jembatan. Dana pembangunan berasal dari pinjaman luar negeri yang akan diangsur lewat pajak yang dikutip dari rakyat. Dana pinjaman luar negeri itu disunat sana - sini. Untuk kepentingan partai dan kepentingan perut. Walhasil insinyur sipil bernama Kabul itu harus konfrontasi dengan pimpinan kerjanya yang juga kader partai GLM. Maklum, Kabul adalah mantan aktivis gerakan mahasiswa.  Gak cuma itu, Kabul akhirnya harus konfrontasi dengan semua orang. Maklum, kader partai itu sudah terlalu banyak. Bahkan Kabul sempat juga bentrok dengan pimpinan pembangunan mesjid segala.
 
Walaupun setting-nya urusan jembatan, tapi pesan utamanya sebenernya ada di urusan per-politik-an yang digambarkan menipu dan menyengsarakan rakyat. Tohari kirim tiga pesan kepada tiga golongan dalam buku ini. Setidaknya itu yang saya tangkap. Pesan pertama kepada politikus, supaya jangan berbuat seperti yang ada dalam buku ini. Supaya politikus fokus memperhatikan rakyat, bukannya menghabur - hamburkan duit rakyat untuk partai dan perut. Pesan kedua kepada para manusia idealis, Tohari berpesan supaya jangan berdiam diri melihat penyimpangan pemerintahan. Terakhir Tohari berpesan kepada masyarakat supaya jangan mau dikibuli partai politik terus - menerus.
 
Bagi mata saya, buku ini lebih banyak sindirannya daripada skenario aslinya. Rame pol. Memang di sana - sini ada 'acara' tambahan, seperti Kabul mencari istri, atau urusan mancing dan memasak pepes pelus. Belum lagi ada tokoh penentu yang ternyata manuvernya cukup banyak, yakni wanita tua menjual makanan --penjaga warung di lingkungan proyek itu. Banyak kiprah dia ternyata. Jan cukup jeli Tohari memaparkannya. Kalau opera sabun, maka busanya cukup melimpah. Tapi ini bukan opera sabun. Novel ini gambaran kondisi masyarakat, cermin realitas. Banyak tokoh, cerita, skrip yang malang - melintang. Tapi walau banyak sekali ide berseliweran, banyak tokoh hilir - mudik, tetap saja, sentralnya ada di urusan per-politik-an yang gak karuan juntrungannya. Bancakan duit proyek untuk keperluan partai disorot habis dan non-stop --meddley-- tanpa jeda. Nggak mungkin nggak risih kalo orang proyek membaca hal ini, bila memang dia ter-sentil oleh kalimat - kalimat dalam novel yang cenderung straight, nggak ada kamuflase-nya sama sekali ini. Langsung tonjok.
 
Bagi saya, novel ini cukup menggigit, dan tentunya layak baca karena bikin kita tersimpul senyum , atau malah kecut. Kalo mau diterusin, resensi saya malah akan terbawa narasi Tohari. Namun, bagi kalangan yang lebih halus dalam berbahasa, novel Tohari ini terlalu jorok kalimatnya, atau bahkan terlalu menyakiti hati. Nah, rasanya nggak ada salahnya buat dicoba. Selamat tonjok-tonjok-an ala novel Ahmad Tohari. [] haris fauzi - 7 Agustus 2007


salam,
haris fauzi
 


Ready for the edge of your seat? Check out tonight's top picks on Yahoo! TV.

No comments: