Saturday, August 25, 2007

kenisah : merdeka dari materi

MERDEKA DARI MATERI
"Kejarlah akhiratmu, maka duniamu akan mengikuti". (pedoman hidup)
Setelah sedikit skipping dan memerah keringat ala kadarnya, saya sarapan sambil ngobrol dengan istri saya. Istri saya sarapan roti dan saya mengaduk - aduk larutan oat. Kami sempat ngobrol tentang seseorang sahabat. Dia bernama Fauk, atau Fao.Kami memanggilnya begitu. Nama aslinya sih Fauzan.
Kebetulan beberapa hari lalu dia mengadakan resepsi pernikahan, dan alhamdulillah walau terlambat saya masih bisa mengunjunginya.
Berlangsung di rumah mertuanya di kompleks elit di selatan Bogor. Acaranya cukup sederhana. Hanya ada tenda dan meja makan. Artinya, bangku pelaminannya tidak ada. Bahkan setau saya undangan-pun tidak diedarkan. Saya hanya tau dari pesan pendek yang masuk beberapa hari sebelumnya. Fao mengenakan baju taqwa --baju koko-- berpeci hitam celana panjang hijau coklat. Istrinya berbusana muslim serba putih. Mereka berdua hilir mudik menemui tamu yang berdatangan.
"Ris, alhamdulillah..Garek awakmu thok sing di-enteni karo Ibuk-ku...Endi iki Haris kok gak teko - teko...ngono jare Ibuk-ku", gitu sapa akrab Fauzan kepada kami ketika masuk.
Artinya kurang lebihnya gini:"Ris, alhamdulillah...Tinggal kamu seorang yang ditunggu sama Ibu-ku...'Mana ini Haris kok belum jua datang ?' Gitu kata Ibuku".
Maklum, saya tidak sempat hadir pagi di akad nikah. Saya langsung masuk menjumpai Ibu Fao, berjabat tangan dan menyampaikan salam dari keluarga Malang kepada Ibu Fao..Titipan Ibu saya.
Fao terlihat menemui tamu yang lain. Santai sekali. Fao seringkali malah mengobrol dengan para tamunya, seperti biasa, duduk menyilangkan kaki dengan jari memetik sebatang rokok. Pengantin putrinya sibuk bercanda dan berfoto kian kemari dengan para kerabatnya.
Para besan duduk menjamu tamu dekat di sudut dalam rumah.
Kelop-nya, saya juga mengenakan baju koko serba putih, istri dan anak saya-pun demikian. Serba putih, bukan busana pesta. Sepatu bolong jempol kesayangan tak lupa saya pake tanpa kaus kaki. Habisnya enak sih.
Bagi saya, Fao --dan keluarganya-- merupakan pencerminan akan sebuah sikap dasar rohani manusia. Dia perlambang sikap merdeka. Merdeka dari kungkungan materi. Perlu saya tambahkan, merdeka bukan berarti anti-materi. Fao tetap berkarya dan berprofesi sebagai rekayasawan yang menghasilkan duit untuk nafkah keluarganya. Tetapi dia merdeka. Merdeka artinya tidak menjadi budak materi.
Saya mengenal Fao karena dia teman kecil saya di kampung. Almarhum Bapak Fao bernama Pak Nachrowi --setahu saya adalah mantan tentara jaman jepang dan profesinya petugas keamanan, hansip atau satpam. Ibunya membuka warung barang pasar. Saudaranya sekitar sepuluh orang.
Kere ? Tidak. Hitungan kere atau melarat adalah relatif. Keluarga Pak Nachrowi menurut saya kecukupan. Kaya malah. Bukan karena gajinya atau duitnya cukup membuat seluruh anggota keluarga yang menyerupai tim sepak bola itu senang. Bukan jumlah materinya. Tetapi sikap anggota keluarganya yang membuat mereka kaya. Mereka sangat berkecukupan dengan keadaan yang mereka rasakan dan jalani. Mereka nggak butuh neko - neko. Mungkin bagi orang lain, keluarga Pak Nachrowi dianggap miskin karena tidak mempunyai mobil. Tetapi bagi saya mereka memang tidak membutuhkan mobil, mereka juga tidak ngoyo untuk mempunyai mobil. Berarti, mereka kecukupan. Mereka santun. Mereka kaya. Mereka cukup memiliki dada yang lapang untuk menghadapi dunia, dan mereka memiliki kemauan yang keras untuk menekuni dunia rohani.
Saya sekarang mengaitkan hal tersebut dengan sebuah perjalanan yang sedang coba saya tekuni dengan susah payah. Yakni perjalanan spiritual. Ya. Kenapa saya bersahabat dengan Fao, mungkin bisa jadi karena kami memang sesama musafir, peserta perjalanan spiritual tersebut. Kami saling bertukar pendapat tentang rute - rute yang harus ditempuh. Tentang kendala dan tentang harapan yang ada di depan. Tentang teman lain yang bisa dijumpai di sudut - sudut jalanan. Tentang titik akhir perjalanan ini. Tentang fase kematian menuju perjalanan spiritual abadi.
Pada tataran praktis, perjalanan spiritual adalah suatu perjalanan hidup untuk memaknai kehidupan itu sendiri. Makna ini menelurkan permata hikmah yang disebarkan laksana cahaya yang akan memperterang perjalanan rohani kita sendiri. Sukur - sukur bermanfaat bagi orang lain. Bila ternyata hikmah ini begitu benderang bagi orang kebanyakan, maka semakin lancar perjalanan spiritual itu. Ya. Perjalanan spiritual itu bukan untuk diri pribadi. Tetapi untuk alam semesta ini. Mengemban amanat Tuhan. Atas nama Tuhan.
Salah satu tokoh penganjur perjalanan spiritual adalah Muhammad. Bahkan dia menjamin bila kita melakukan perjalanan spiritual dengan benar, maka kebutuhan dunia akan terpenuhi secara otomatis. Artinya kurang lebih adalah apabila seseorang mengejar atau menunaikan tugas - tugas akhirati yang bersifat rohani, maka unsur dunia akan terpenuhi. Ini menjadi salah satu dalil. Muhammad jelas - jelas merupakan seorang traveller, musafir, yang melakukan perjalanan spiritual dengan sukses.
Korelasinya begini. Seseorang pastilah mati. Mati berarti jiwa ini --rohani ini-- akan meninggalkan jasad atau materinya. Berjalan menuju akhirat yang juga bersifat non-materi. Percaya atau tidak, apa yang saya percaya adalah itu. Kita mati, jasad terbengkalai, dan kita memulai kehidupan yang bersifat spiritual murni.
Berkenaan dengan inilah, maka saya memilih bahwa sebaiknya perjalanan spiritual dan ihwal rohani ini menjadi prioritas.
Lantas kenapa ihwal duniawi tidak di kejar? Duniawi bersifat kebutuhan dan keinginan, mungkin kita tetap meretas kebutuhan duniawi tetapi tidaklah perlu ngoyo untuk merealisasikan segala bentuk keinginan dan ketamakan. Karena kita harus menyediakan cukup banyak perhatian untuk perjalanan spiritual ini. Dan apabila energi ini masih bersisa, maka sisakan sedikit untuk mengejar dunia secukupnya.
Bagi saya perjalanan spiritual ini ternyata menyita perhatian dan energi.
Dan dari dalil tersebut dijelaskan bahwa bila perjalanan spiritual berjalan baik, maka unsur dunia akan terpenuhi dengan sendirinya. Sebetulnya sih bukan segampang itu. Tafsirnya nggak se-kolok-an itu. Tuhan bukan Robin Hood yang suka membagikan uang kepada orang lain. Bukan dari sisi materinya yang mendadak sontak laksana sihir Copperfield tiba - tiba ada mobil Ferrari di depan hidung kita. Bukan itu. Tetapi sifat ruhani yang santun akan memandang dunia ini juga dengan santun. Tidak tamak dan tidak serakah, tidak kemaruk. Jiwa seperti inilah yang bisa memerdekan kita dari segala bentuk ketergantungan materi. Bisa jadi kita semakin tidak membutuhkan tetek-bengek duniawi yang bertebaran dan berkilauan ini. Itu kesimpulan saya sekarang. Semoga benar.
Bila kembali ke keluarga Pak Nachrowi tadi, maka Fao sudah jelas - jelas meletakkan porsi hidupnya untuk menempuh perjalanan spiritual tersebut. Dia sudah melintas dan melangkah jauh. Lebih jauh daripada saya yang baru saja memulai sekitar sepuluh tahun yang lalu. Sekitar tahun 1997, setelah dua tahun bekerja, saya baru mencoba-coba dengan jiwa penakut ... mulai untuk melangkah dengan intens di ranah ini. Ranah perjalanan spiritual. Itu-pun langkah saya tidaklah tegap, saya masihlah tertatih - tatih dan terlalu sering merengek - rengek kecapekan. Atau kadangkala bergelut dengan sengit karena di dalam hati saya masihkan berserakan sifat serakah hendak meraih apa yang saya mau. Bukan sekedar apa yang saya butuhkan.
Hal yang penting dimaknai dalam perjalanan spiritual adalah kesiapan untuk mati. Semakin jauh perjalanan spiritual yang telah ditempuh, semakin siap seseorang itu untuk melewati proses kematiannya. Demikian juga kebalikannya. Semakin dia meraih perjalanan duniawi, maka bisa jadi semakin ogah dia untuk mati. Padahal kematian adalah keniscayaan. Perkara jiwa anda siap atau tidak, resiko tetap harus dihadapi. Jiwa ini harus siap menghadapi hal tersebut karena kematian itu datangnya mendadak. Mumpung masih hidup, makanya saya mencoba melakukan perjalanan spiritual sebaik mungkin, dan berusaha merdeka dari ikatan materi yang toh nantinya juga akan kita campakkan begitu saja. Mobil, rumah, buku, kaset, bahkan jempol kaki ini nanti tidak akan menyertai saya dalam perjalanan berikutnya. Saya harus siap. Saya harus berlatih agar siap meninggalkan itu semua. Saya harus siap merdeka dari segala ketergantungan terhadap materi, terhadap rumah, terhadap mobil, terhadap profesi, terhadap gaji, terhadap wujud duniawi lainnya. Ya. Saya masih terlalu kolokan dan goblog. Tapi nggak ada salahnya untuk terus berusaha dan melaju.
Sekali lagi bukan lantas nggak butuh. Bukan lantas musti harus menjadi kere.Tetapi ini bersifat 'merdeka'. Tidak terkungkung oleh materi. Tidak kemaruk bendawi. Alasannya sekali lagi jelas : suatu hari kelak kita akan mati dan roh ini akan meninggalkan jasad dan dunia fana ini. Jiwa ini akan berjalan terus, meniti kehidupan spiritual. Dan, perjalanan spiritual melatih kita untuk menyikapi prosesi kematian dengan senyum yang menawan. Mati itu bukan persoalan pelik yang musti dirisaukan. Seperti apa yang pernah disenandungkan oleh James laBrie --vokalis kelompok progresif-metal Dream Theater dalam album 'Scenes From A Memory':
If I Die Tomorrow
I'd Be Alright
Because I Believe
After We're Gone
The Spirit Carries On...
[] haris fauzi - 23 Agustus 2007


salam,
haris fauzi


majalah solid
situs keluarga
kolom kenisah



Yahoo! oneSearch: Finally, mobile search that gives answers, not web links.

No comments: