DITOLONG TUHAN
"Bagaimana sakit kankernya ?"
"Alhamdulillah. Berkat pertolongan Tuhan, tubuhnya mulai pulih..."
Acapkali kita mengucapkan atau mendengar seorang kerabat mengatakan seperti hal di atas :".....Alhamdulillah, berkat pertolongan Tuhan......". Seperti itulah.
Pada dasarnya, suatu kejadian yang ajaib, atau di luar kebiasaan, memang sepatutnya kita menyampaikan bahwa hal tersebut adalah karena pertolongan Tuhan. Terbebasnya dari penyakit yang mematikan, terhindar dari petaka yang mengerikan, atau sebangsa itulah. Merasa mendapat sejumlah mukjizat juga mungkin pula. Dan kita merasa bersyukur telah mendapat hal 'ajaib' tersebut, karena pertolongan Tuhan.
Pada suatu hari hari di masa duduk di bangku SMA saya pernah menjalani ujian lisan. Mata pelajarannya adalah Kimia. Ujian lisan adalah ujian dimana soalnya ditanyakan secara lisan, demikian juga jawabannya. Terpenting adalah jawabannya. Ya karena murid musti menjawab jawaban dengan berkata - kata, maka tak ada kemungkinan untuk berpikir terlalu lama, tak ada kesempatan untuk mendapat contekan dari teman kecuali sang teman bisa membisikkan jawaban dengan baik. Semua siswa dalam kondisi penuh tekanan, karena setiap soal yang hendak dibacakan masih penuh teka - teki, pun pula siapa yang bakal ketiban soal tersebut juga tidak kalah misteriusnya. Sang Guru melakukan penunjukan random --acak. Ya jelas hati ini deg-degan pula dengan napas yang tidak kalah mencekiknya.
"Giliran ... Ahmad Haris Fauzi...!", Sang Guru menyebutkan nama saya.
"Saya...", saya acungkan tangan. Jantung ini berdegup keras seakan terbentur tepi meja yang berada di muka menyangga badan. Saya rasakan kaki teman menendang sepatu saya, pelan, seakan memberi support.
"Lintas orbit elektron berdiameter cukup besar dibandingkan dengan diameter inti netron. Apakah artinya...?", demikian soal yang dilontarkan Sang Guru kepada saya. Menghunus tepat di antara mata saya.
Sejenak saya tercekat, kerongkongan ini mendadak kering. Tak menduga saya mendapat soal yang kurang saya akrabi ini.Saya sungguh tidak faham betul ihwal soal yang dilontarkan Sang Guru itu. Apalagi jawabannya. Pandangan teman - teman satu kelas juga aneh, pandangan tanpa harapan. Seolah saya sudah akan knock out dengan lontaran soal tersebut.
Dan ditengah kekosongan ini entah kenapa pandangan mata saya mendadak menjadi glowing, berpendar.
Yang aneh saya seakan merasakan ada perintah diluar kesadaran yang membuat saya berkata dan menjawab,".....terdapat ruang kosong...". Lirih dan hampa saya menjawab tanpa ada kesadaran penuh. Sejenak saya lihat seluruh kelas seakan memandang kepada saya, bahkan gambar presiden dan wakil presiden yang tertempel di dinding muka kelas rasanya juga menyorot pandangan tajam ke saya.
"Betul !", demikian komentar singkat Sang Guru.
Saya tersadar penuh. Menghela nafas, dan menurut saya mungkin bumi ini ikut turut pula menghela nafas dalam. Rasanya saya seakan hidup kembali, dan saya berujar gak kalah lirih,"...Alhamdulillah....Lolos....".
Entah itu disebut keajaiban, entah itu disebut mukjizat --harusnya mukjizati adalah hak para nabi--, entah pula bisa di sebut sebagai 'peristiwa kebetulan'.
Tapi saya merasa bahwa yang menjawab tadi adalah bukan saya. Saya nggak 'nyanthol' blas masalah itu. Blankspot, kalo istilah sekarang. Dan saya juga nggak tau kenapa saya bisa menjawab dan berkata seperti itu. Pernah hal ini saya tanyakan kepada seorang teman. Dia cuma berkomentar,"..itu fenomena alam bawah sadar...". Well, gak mudheng blas aku. Ya sudah. Sampai sekarang akhirnya saya cuma beranggapan bahwa hal itu adalah pertolongan Tuhan.
Juga pernah terjadi suatu peristiwa di siang bolong panas terik. Sedemikian teriknya sehingga silau kita memandang keluar. Di tengah panas terik itu saya mengalami suatu hal yang memang di luar kendali. Tanpa harus saya ceritakan ujung pangkalnya, pokoknya hari itu terjadi amuk massa di depan saya. Sekian puluh orang berusaha merangsek saya di terik panas itu. Panas, gerah, chaos, mencekam. Sifat keroyokan massa adalah seperti itu.
Di tengah suasana genting, ditengah terik matahari yang meyorot keras. Tanpa diduga turun hujan dengan sangat derasnya, dengan sangat tiba - tiba. Saya rasakan bulir - bulir air yang turun ini menghunjam dengan sangat keras dan membuat pedih muka yang tertengadah menantang turunnya sang hujan. Jangankan menengadahkan muka. Air hujan mengalir keras dengan kecepatan tinggi dari atas membuat ubun - ubun ini agak sakit terkena hantaman air hujan itu. Hasilnya sungguh istimewa, massa itu membubarkan diri. Saya terlepas dari kejadian maut.
Anehnya lagi, begitu kumpulan massa itu menghilang dari pandangan mata, hujan dengan spontan mereda dan lenyap, kembali cuaca panas menyeruak menguasai atmosfer.
Pertolongan Tuhan ? Jelas itu kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan kepada kejadian khusus terhadap alam semesta ini.
Kita seringkali baru menyebut "Alhamdulillah -- Segala Puji bagi Tuhan..." ketika kita mengalami hal - hal yang demikian dahsyat. Mungkin hati ini telah kebal, sehingga untuk menyebutkan kehebatan Tuhan haruslah melalui hal - hal yang sedemikian dahsyat.
Saya setuju, bahwa setelah mengalami hal - hal yang demikian dramatis, demikian penuh keajaiban, kita musti mengungkapkan kehebatan Kuasa Tuhan. Namun, sejatinya tidaklah perlu sampai kejadian sedemikian dahsyat barulah kita tersadar bahwa kita di tolong Tuhan.
Ya itu. Mungkin hati kita telah kebal, sehingga perlu peristiwa dahsyat untuk melecut kita.
Padahal kalau kita mau sedikit menengok kehidupan keseharian, ternyata banyak sekali dengan kuasa dan pertolongan Tuhan. Coba amati kejadian yang terlewatkan. Bisa jadi akan membuat kita kagum karena ternyata penuh keajaiban. Dari urusan yang sedemikian kecil sahaja.
Mungkin kita saja yang sudah terlalu terlena sehingga tidak sempat mengamati, tidak sempat ber-taffakur, tidak sempat menyadari bahwa hal sekecil apapun tidaklah bisa terjadi tanpa pertolongan Tuhan. Kejadian sekecil apapun sejatinya ada peran Tuhan di situ. Semisal perjalanan ke kantor. Mungkin jaraknya sekitar enam puluh kilo meter. Apakah peran dominan kita sehingga pada malam hari kita bisa selamat sampai rumah ? Bukankah ini juga kurnia dan kuasa Tuhan ? Bukankah ini juga pertolongan Tuhan yang muncul setiap hari tatkala pulang kerja ?
Contoh yang paling gampang dan kecil saja seharusnya bisa menyadarkan kita. Suatu hari saya hendak berangkat kondangan bersama keluarga.
Seberapa lihai anda mengikat dasi ke leher anda ? Karena saya menyukai dasi konvensional yang panjang terurai itu, maka seharusnya saya cukup lihai mengikat dasi sendiri. Namun entah kenapa sore itu sang dasi tak juga kunjung mau duduk seimbang di leher saya. Sampai beberapa kali mengikatnya, saya masih juga tidak mampu menjadikannya ikatan segitiga yang indah. Tangan ini sampai pegel. Dahi ini mulai berpeluh
Setelah sekian lama, akhirnya saya bergumam "...ampuni saya ya Tuhan...".
Apa yang terjadi ? Ikatan berikutnya langsung rapi jali. "Keren...", kata istri saya.
Seringkali kita mengabaikan kurnia Tuhan karena tidaklah setiap hari kita mengalami hal yang dahsyat. Karena kejadiannya sudah rutin dan membosankan. Tapi ini sebenarnya bukanlah alasan yang signifikan. Mungkin bila Tuhan adalah manusia, bisa jadi Tuhan-lah yang lebih bosan terhadap tingkah kita yang sering tidak mengerti bahwa apa yang membuat manusia hidup dan terus bernafas sejatinya adalah karena Tuhan. Namun Tuhan bukanlah suka menyombongkan seperti itu. Tuhan itu tanpa pamrih. Manusianya yang keterlaluan.
Dalam beberapa pandangan ajaran filsafat, manusia merupakan medan konflik antara kutub materi dan kutub spiritual. Kutub materi adalah kutub pemenuhan kebutuhan akan materi, sementara kutub spiritual adalah pemenuhan jiwa - jiwa kosong. Jiwa - jiwa ini harus terus diisi muatan untuk mengingat bahwa Tuhan-lah yang telah memberinya hidup. Karena 'roh' Tuhan telah ditiupkan-Nya kepada sosok manusia. Untuk mengingat 'peran' Tuhan seperti ini terus terang manusia membutuhkan kepekaan nurani dan kejernihan berpikir. Kesiapan untuk ber-taffakur. Dan kepekaan ini semakin memudar tatkala kutub materi menguasai kehidupan manusia. Padahal kehidupan itu sendiri adalah aspek spiritual, aspek jiwa. Tanpa jiwa tidaklah ada kehidupan. Inilah --bagi saya-- alasan yang signifikan kenapa manusia menjadi 'kebal' dan sangat kurang peka terhadap kuasa dan pertolongan Tuhan. Seakan hidup ini adalah 'pertunjukan' yang sedemikian saja bisa terjadi dengan sendirinya. Seakan jari ini menari dengan sendirinya di papan keyboard, seakan turun tangga itu jamak,
tanpa ada peran Tuhan.
Dalam dunia modern seperti sekarang ini, kutub materi telah menghimpit kutub spiritual. Jalan - jalan spiritual telah sepi. Lengang. Orang - orang --termasuk saya juga-- lebih sibuk berbondong - bondong menuju jalan materi, sampe rela bermacet - macet segala. Kadang kita tersadar bahwa ada yang salah dalam hal ini, namun tetap saja kita membiarkannya terjadi. Tetap saja kita menjalaninya seperti biasa. Mungkin ada yang musti digeser dalam paradigma hidup ini. [] haris fauzi - 4 Agustus 2007
salam,
haris fauzi
haris fauzi
Park yourself in front of a world of choices in alternative vehicles.
Visit the Yahoo! Auto Green Center.
No comments:
Post a Comment