Bangsa ini mengadopsi sistem demokrasi untuk penerapan sistem politiknya. Demokrasi berasal dari Athena, dan kemudian diterapkan secara cukup meluas di Romawi hingga runtuh pada kisaran abad ke 17. Demokrasi baru go-internasional ketika pada abad ke 15 dimana doktrin gereja di sebagian besar negara Eropa ber-konflik dengan filsafat berbasis rasio, sehingga timbullah pergolakan penentangan kepada kekuasaan gereja, dan muncullah filsafat sekularisme. Sekularisme menjadi bentuk sosial baru yang berlaku di banyak negara Eropa dan menjadi salah satu pendorong demokratisasi, hingga akhirnya mendorong penyempitan kewenangan aristokrasi dan dewan gereja. Dewan gereja tergeser oleh faham sekularisasi, aristokrasi tergeser oleh euforia demokratisasi.
Di Amerika seiring dengan penataan benua baru abad ke-18, demokrasi muncul menjadi sistem bernegara modern dan dianggap sangat berhasil. Keberhasilan ini terus dipublikasikan hingga ke abad modern dan diminati banyak negara, terutama negara yang baru merdeka di medio abad ke 19-20. Bangsa Indonesia pernah mengadopsi sistem politik ala sosialis yang lazim di Eropa Timur. Tetapi berhubung adanya kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis, maka akhirnya Indonesia beralih menjadi mengadopsi demokrasi ala Amerika yang dianggap berhasil tadi.
Dalam pemilahan sistem politik internasional, setiap koalisi pasti mengandung unsur keberpihakan tertentu. Sistem politik sosialis ala Eropa Timur, tentunya menguntungkan posisi - posisi negara USSR dan atau China, demikian juga dengan demokrasi ala Amerika. Keberpihakan kepada sistem Amerika jelas menguntungkan Amerika, setidaknya kentara di bidang ekonomi. Dulu pun begitu. Ketika mengadopsi sosialis, secara geo-politik internasional, Indonesia mendukung kubu Sovyet. Ini jelas keuntungan bagi Uni Sovyet. Dan ketika Indonesia beralih ke demokrasi kiblat Amerika, maka negara - negara pro Eropa Barat dan Amerika yang diuntungkan, kali ini lebih kentara dalam bidang ekonomi kapital. Segala pinjaman, investasi, kerjasama bisnis, banyak terjadi dengan poros kapitalisme Amerika, dan Jepang di sisi lain. Dan ini merupakan penyerapan laba oleh Amerika yang dilakukan secara kontinyu. Lihat saja efek Freeport. Hingga kini Freeport menjadi ladang cangkul yang memperkaya Amerika, namun tidak memajukan Irian. Kemudian pinjaman IMF, Bank Dunia, dan lain - lain. Pinjaman ini dikembalikan dengan cicilan plus bunga, dan dengan bunga yang cukup tinggi ini, beberapa kali berkontribusi memperbaiki kondisi keuangan Amerika, namun mencekik Indonesia.
Mungkin ada benarnya bila bangsa ini berusaha me-re-negoisasi hutangnya, serta bentuk kerjasama asing yang terlalu menguntungkan pihak luar, seperti Freeport tersebut. Renegoisasi hutang agar tidak terlalu memberatkan, dan bertujuan utama membangun bangsa Indonesia, tidak seperti yang terjadi sekarang. Yang sekarang terjadi lebih condong memperkaya negara pendonor dan mencekik negara terhutang.
Renegoisasi investasi dari sisi ekstrem adalah mirip dengan nasionalisasi yang beberapa kali kejadian di negara - negara revolusioner Amerika Latin dan pernah pula kejadian paska revolusi Iran 1979. Intinya, segala bentuk investasi dan kerjasama dengan perusahaan asing, poin pertama yang harus direalisasikan adalah demi keuntungan bangsa sendiri. Bukan seperti kejadian Freeport, yang Indonesia cuma memperoleh receh retribusi semata, sementara hasil tambangnya habis - habisan di boyong ke Amerika, dan membuat Amerika kaya raya. Kalau toh terjadi, sebenarnya ini tidaklah mengherankan. Kita menerapkan sistem politik ala Amerika, dan yangmana karena berasal dari sana, ya konsekwensinya jelas, nyaris sebagian besar keuntungan juga mengalir ke sana. Ini permainan link and match antara politik dan ekonomi. Untuk itu, ada baiknya kita meninjau ulang sistem politik di negara ini, sehingga kita bisa lebih membatasi arus keuntungan yang membanjir keluar. Agar kekayaan yang ada bisa dinikmati oleh bangsa ini sendiri, dengan porsi yang lebih banyak.
Demokratisasi memang dipublikasikan oleh Amerika demi keuntungan Amerika. Lihat saja bagaimana isu demokrasi menggulung Mesir dan menjatuhkan Hosni Mubarak. Namun ketika yang terpilih menjadi presiden adalah Mursi, maka perlu digulingkan, karena visi Mursi tidak se-faham dengan Amerika. Demikian juga ketika Libya dipimpin Muammar Qaddhafi, karena Qaddhafi tidak sejalan dengan Amerika, maka perlu digulingkan. Setelah digulingkan atas nama demokrasi, maka sistem negara yang ter-install akan memiliki aplikasi khusus yang mampu mengalirkan kekayaan negara tersebut ke Amerika. Hal seperti itu yang juga terjadi di Indonesia. Untuk itu, sebelum mewujud menjadi bangsa yang mendadak kere gara - gara dihisap kapitalis, --sekali lagi,-- ada baiknya Indonesia meninjau ulang sistem politik yang sudah ter-install ini. [] haris fauzi, 26 desember 2015
No comments:
Post a Comment