Thursday, December 31, 2015

Tentang Umat Islam

Setahun ini, bahkan mungkin sejatinya enam tahun belakangan ini, pikiran saya diteror oleh betapa simpang siurnya ihwal sekte - sekte dalam Islam. Dan itu merajalela dimana - mana, mulai dari koran, internet, grup chat, media sosial, di masjid kampung, ... pokoknya dimana - mana. Dan hebatnya sempat memuncak seiring makin carut - marutnya krisis Suriah. Ini agak aneh. Krisis Suriah --yang mana terjadi bentrok dukungan antara Arab Saudi versus Iran-- menjadikan umat Islam di Indonesia ikut - ikutan terdikotomi antara Sunni versus Syiah, terutama dari rekan - rekan Salafi Wahabi yang menjadi gencar menyerang Syiah disetiap media yang diikuti, baik internet, ataupun grup chat dan media sosial sejenis. Belum lagi termasuk radio - radio berafiliasi Wahabi, yang makin gencar mengutuk Syiah. Demikian juga sebaliknya, Syiah nyinyir kepada kaum Wahabi. Untungnya tidak terjadi bentrok fisik.

Seperti di ketahui, krisis Suriah membawa Iran berhadap - hadapan berlawanan dengan politik luar negeri Arab Saudi. Wahabi notabene lahir dari Saudi, sementara Iran sudah jelas - jelas Syiah. Kondisi ini sudah memungkinkan adanya perbedaan pendapat. Ini makin meruncing karena Amerika berada dalam koalisi Saudi, dan menjadi makin kritis ketika Iran --yang sejak revolusi Islam 1979 sudah bermusuhan dengan Amerika,-- bersekutu dengan Rusia, lawan abadi Amerika. Bayangkan, perseteruan abadi Amerika versus Rusia menyeruak kembali di arena Suriah. Namun, yang menjadi ayam petarung adalah sunni dukungan Amerika versus syiah dukungan Rusia.

Ini mengingatkan kembali betapa edannya perang Iran - Iraq yang terjadi antara tahun 1980 hingga 1988, dimana Sovyet mendukung Iran sementara Amerika mendukung Iraq. Mungkin maksud Amerika ingin menumpas Iran sebagai bentuk balas dendam kesumat Amerika ketika ditaklukkan Iran di revolusi Islam 1979. Amerika bersekutu dengan Iraq dalam perang tersebut, memusuhi Iran. Sat itu petanya begitu, tentu berbeda dengan perkembangan yang terjadi pada tahun 2003, dimana malah terjadi hal kebalikannya. Setelah Amerika mesra dengan Iraq hingga tahun 90-an, pada tahun 2003 giliran Amerika menikam Iraq dengan invasinya. Invasi ini membuat Iraq babak belur dan pimpinannya --Saddam Hussen-- terguling. Ini membawa Iraq pada petaka krisis berkepanjangan. Recovery Iraq karena krisis tersebut belum beres hingga kini, belasan tahun setelah Amerika melakukan invasinya ke Iraq.

Berbeda dengan perang Iran-Iraq, krisis Suriah kali ini, walau terjadi di dalam satu negara, cekcok antara incumben pemerintahan pimpinan Jenderal Assad versus kelompok anti pemerintah, menjadi lebih rumit karena ada gerombolan ISIS --boneka made in Amerika-- yang ikut - ikutan mengacaukan situasi. Dan goblognya, eskalasi di Suriah antara Saudi versus Iran terbawa hingga ke Indonesia dan mewujud menjadi perang kutukan antara kelompok Wahabi dengan Syiah. Yang mana secara kebetulan,--walau menurut saya tidak sepenuhnya kebetulan, Rafidhah --sekte menyimpang syiah-- di Indonesia memang sedang provokatif juga, entah karena mendapat angin semenjak kampanye Pilpres 2014 oleh calon Presiden. Kondisi ini makin membuat membara perseteruan Sunni - Syiah di Indonesia. Dan cenderung membabi-buta. Menyedihkan sekali.

Di akhir tahun, seperti biasa umat Islam Indonesia disibukkan dengan menjalarnya opini ihwal 'perayaan natal bersama'. Ini juga --menurut saya-- terkesan ada yang memprovokasi. Entah berbayar entah tidak. Memang pada tahun 1981 ihwal ini sempat heboh seheboh - hebohnya ketika ketua MUI, Buya Hamka, mengeluarkan fatwa haram tentang perayaan natal bersama. Dan pemerintah menegur MUI, dan berkat keteguhan Buya Hamka, Hamka memilih mengundurkan diri karena fatwa tentang hal  perayaan natal bersama --berikut ucapannya-- harus direvisi. Ketua MUI penganti Hamka menindaklanjuti teguran pemerintah dengan melakukan revisi. Diskursus ini selalu menjadi perbincangan hangat hingga kini, setiap akhir tahun.


Dan karena topik tersebut sepertinya belum juga tuntas beres juga hingga kini, dan senantiasa ada yang menghembus - hembuskan, makanya nyaris setiap akhir tahun muncul trending topic ihwal "perayaan natal dan ucapan selamat natal" dari ummat Islam kepada pemeluk Nasrani. Padahal jelas tahun 1981 Buya Hamka mengharamkan, melarang. Sementara ulama lain ada yang memperbolehkan. Intinya begitu. Berjalannya waktu, harusnya ummat Islam makin sadar, bahwa ada kelompok ulama yang meng-haram-kan, dan ada ulama yang mem-boleh-kan. Tetapi hingga kini saya tidak menjumpai kelompok ulama yang 'menganjurkan' memberikan ucapan natal. Sederhananya begini, bila anda ingin pergi jalan - jalan, sementara Ayahmu melarang, dan Ibu-mu membolehkan, apa yang anda lakukan ? Ini kan pola pikir yang gampang, namun kenapa di Indonesia jadi bertalu - talu ? kalo toh ummat Islam tidak mengucapkan serta tidak menghadiri perayaan natal, saya kira pemeluk nasrani juga tidak berkeberatan. Dan saya rasa pemeluk nasrani juga bisa menghormati kaidah - kaidah yang ada.

Hebohnya topik ini membuat ummat Islam di-Indonesia kembali saling mencaci maki. Saya sendiri penganut yang "mengharamkan" perayaan natal bersama, termasuk mengharamkan pemberian ucapannya. Dalih saya adalah ritual agama lain tidak akan memperbaiki akidah saya. Itu urusan saya pribadi. Dalam kericuhan ini, saya melihat, adanya anggapan bahwa seakan - akan yang mengharamkan itu kolot dan tidak menghormati pemeluk agama lain. Sementara yang mengharamkan, menganggap mereka yang mengikuti perayaan natal memiliki akidah yang luntur. Ini perang rutin yang terjadi setiap menjelang tahun baru.






Dan untuk tahun ini, sepertinya lebih parah. Saya mendapati kiriman potongan video dimana Emha Ainun Nadjib bersholawat dengan nada lagu gereja. Entah kapan dan dimana kejadiannya, bisa jadi bukan tahun ini. Video itu seakan mengejek mereka yang mengharamkan pemberian ucapan natal. Tidak lama kemudian, saya juga membaca berita bahwa di Kupang, pada acara perayaan natal nasional ada kumandang adzan sholat. Dua hal ini, sholawat Emha dan kumandang Adzan, hemat saya tidaklah perlu dilakukan, karena hal tersebut terlalu berlebihan dan bisa mengundang reaksi yang tidak menguntungkan. Bagi ummat Islam yang berkehendak "mengucapkan natal" atau ingin "merayakan natal" tak usahlah memprovokasi agar terjadi reaksi dari kubu yang mengharamkan. Cukup ucapkan dan datang saja, kemudian resiko anda tanggung sendiri kelak di akherat. Saya sih tidak melakukan itu semua.

Kalo toh kemudian terjadi provokasi seperti apa yang dilakukan Emha dan perayaan di Kupang, ini sepertinya memang sengaja memancing supaya ada reaksi dari kubu ummat Islam yang mengharamkan perayaan bersama. Semacam teori "test the water". Kalo ini terjadi, maka skenario berikutnya adalah terjadinya perselisihan dalam ummat Islam yang makin meruncing. Bisa jadi memang ini yang dikehendaki oleh sutradara.

Hembusan ini menguat bermula ketika ada ide Islam Nusantara yang mencuat ketika mengadakan acara "mengaji langgam jawa" di Istana Presiden medio lebaran tahun 2015. Konsep ini banyak didukung oleh Kyai - Kyai dari Nahdatul Ulama, walau tidak semua. Konsep Islam Nusantara menuntut pluralisme dan kelonggaran lebih, terutama ummat islam dituntut untuk bertoleransi lebih, baik terhadap budaya lokal (sebetulnya item ini yang disetujui oleh NU, karena NU berbasis kearifan lokal), nilai agama lain, atau nilai - nilai budaya Barat. Dan kalo bisa bermetamorfosis menjadi Islam liberal (item ini sejalan dengan promosi demokratisasi dan HAM dari Amerika). Intinya adalah "dadi wong Islam ojo sakleg-sakleg". Begitulah konsepnya.

Konon, konsep ini merupakan sub-bagian dari gerakan Islamphobia. Dimunculkan oleh Amerika yang men-cap ummat Islam sebagai teroris. Satu skenario dengan penciptaan monster ISIS yang di-format demikian mengerikan. Nantinya hasil skenario ini akan muncul dikotomis dua sisi Islam: sisi teroris ISIS, dan sisi liberal. Ini konsep internasional, dan sepanjang hemat saya, tidaklah terlalu penting dan juga kurang tepat bila dibungkus dengan judul 'Islam Nusantara' dan lantas diterapkan di Indonesia, karena Indonesia tidak memerlukan hal itu. Malah bisa bikin resiko perselisihan.

Sebagai orang yang dijuluki dengan sebutan tokoh pluralisme, sebetulnya apa yang dilakukan Emha itu kurang tepat. Emha seharusnya bisa mencari sisi - sisi yang tidak sensitif. Bukannya malah mencomot hal yang sensitif kemudian ditunjukkan dengan provokasi di muka umum. Melakukan blending antara sholawat dengan lagu gereja bukanlah langkah yang benar, dan malah bisa mengundang potensi resiko kericuhan.Tapi, bagi saya, terserah Emha mau melakukan apa, entah atas nama pluralisme atau atas nama apapun, mending didiamkan. Karena semakin dibahas, makin ter-publish dan makin populer.

Emha, saya rasa, memiliki kemampuan menimbang - nimbang. Mungkin dalam menjelang tidur beliau juga merintih merasa bersalah melakukan hal tersebut. Bagi yang melakukan kumandang adzan di perayaan natal, pun begitu juga. Seusai acara tersebut, bisa jadi hatinya memohon ampun atas kekhilafan tersebut. Karena pada dasarnya setiap manusia yang memiliki hati akan melakukan introspeksi secara otomatis. Minimal dalam kesendirian, dan dalam dialog antara manusia dan Sang Pencipta kehidupan. Bila dialog tersebut terjadi, maka rasa bersalah akan muncul, dan berikutnya adalah permohonan ampunan. Istilah sufi-nya, tobat.

Seakan dibikin secara kebetulan, akhir tahun ini ada pula kasus unik. Muncul terompet tahun baru yang terbuat dari lembaran Al-Qur'an. Konon bertaburan muncul dan dijual bebas di Jawa Tengah. Apakah ini kebetulan ? Bila dikaitkan dengan adanya adzan di Kupang serta kelakuan Emha, maka ini bisa jadi satu skenario. Bisa jadi. Andai ini cuma kebetulan semata, mungkin tidaklah perlu kita berpikir tentang skenario tersebut. Coba kita pikirkan masak - masak. [] haris fauzi, 31 desember 2015

No comments: