RATIBAN
Ratiban adalah seremonial pelepasan jamaah haji dari rumah masing - masing. Biasanya mengundang handai tolan dan tetangga kerabat. Sambil berdoa bersama dan ceramah. Ada tiga kali ratiban yang begitu meninggalkan kesan dalam lubuk hati saya. Saya hendak berceritera tentang itu.
Yang pertama ketika entah tahun berapa --saya masih kanak - kanak--, Kakek dan Nenek dari pihak Ibu hendak menunaikan ibadah haji. Maka kami berbondong - bondong ke kaki gunung Merapi, desa beliau. Lantas malam hari sebelum pelepasan, Lek Aji mengkoordinir teman - teman desanya untuk bergadang mempersiapkan tenda dan membuat nomer urut untuk mobil - mobil yang bakal berombongan besok paginya menghantarkan Kakek - Nenek. Tenda cukup luas karena orang sekampung bakal hadir. Mobil - mobil diurutkan nomernya karena memang cukup banyak mobil yang hendak beriringan mengantar. Saya kebagian mobil dengan nomer urut 07.
Paginya, --agak siang sedikit--, kami semua berangkat --seingat saya ke bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Saya masih ingat, Kakek dan Nenek mengenakan busana batik. Dan saya masih ingat, Kakek melangkah begitu tegap lengkap dengan kacamata dan slayer-nya, sementara Nenek menitikkan air mata seiring lambaikan kami.
Agustus 1986. Saat itulah Bapak memutuskan untuk beranjak naik haji bersama Ibu. Ratiban diadakan di rumah kami. Rame sekali, kerabat Bapak banyak yang berkunjung. Maklum, Bapak masa itu memang sedang banyak aktif di berbagai kegiatan, jadi temannya juga banyak. Agak siangan kami berombongan menuju mesjid Sabilillah,-- salah satu mesjid terbesar di kota Malang kala itu. Saya ikut satu rombongan dengan Bapak - Ibu, naik mini-bis bantuan dari Angkatan Darat. Di mesjid Sabilillah itulah dikumandangkan azan yang demikian syahdu. Mata saya berkaca - kaca mendengarnya. Saya berumur 14 tahun. Yang menjadi muazzin adalah teman kantor Bapak.
Akhirnya kami harus meng-ikhlas-kan orang tua untuk menuju tandusnya padang pasir. Adik saya menangis dan tak kuasa menahan emosi, hingga sepulang dari mesjid, dia ikut boyongan Kakek Nenek berlibur ke kaki gunung Merapi. Kami akan ditinggal selama sebulan. Bapak berjanji akan sering berkirim kartu pos, dan beliau menepati janjinya. Setiap berkirim kartu-pos, beliau mengirimkan empat kartu sekaligus, satu untuk masing - masing anaknya. Sayangnya kartu - kartu pos tersebut sekarang ketlisut entah dimana. Sayang sekali.
Seperti ketika tulisan ini dibuat, bulan Desember 2003 adalah musim haji juga, banyak ratiban diadakan. Dan salah satu ratiban ada yang begitu tertanam dalam benak saya, walau saya sendiri tidak menghadirinya. Tepatnya hari itu tanggal 28 Desember 2003.
Kalao dari cerita yang saya dengar, di kampung halaman di Malang ada ratiban seorang tetangga, hanya selisih tiga rumah. Saya sendiri sedang melancong ke Plered, dalam perjalanan pulang dari rumah Paklik di Buah Batu Bandung.
Dalam ratiban tersebut Bapak saya diundang, sekaligus diminta tolong untuk memberikan ceramah perpisahan calon haji. Akan istilah tersebut, disebut perpisahan karena memang keberangkatan haji itu harus diikhlaskan sebagai perpisahan. Begitu kata Sosiolog Ali Syariati. Karena perjalanan haji belum berarti bersambut dengan kepulangan ke tanah air kembali.
Sekali lagi masih dengar dari cerita orang lain, dengan tenang --karena memang sudah tua dan agak dililit masalah jantung-- Bapak memberikan ceramahnya sambil berdiri. Biasanya ceramah yang dilakukannya sekitar dua puluh menit, tetapi ceramah kali itu tidaklah selesai. Sekitar setelah sepuluh menit berdiri, Bapak ambruk terkena serangan jantung. Ceramah perpisahan haji itu tidak selesai, namun bagi kami itulah ceramah terakhir Bapak, ceramah perpisahan. [] haris fauzi - 12 desember 2007
salam,
haris fauzi
haris fauzi
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
No comments:
Post a Comment