EWS
"...dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi ia menghindari mengatakannya..." (Edward W. Said)
Kalimat dari EWS ini sungguh mengusik saya sejak lama. Tertuang dalam buku "Peran Intelektual", sebuah buku tipis berisi ajaran - ajaran ihwal segala macem dari EWS, yang juga dikenal dengan Edward W. Said. Jurnalis dan pengamat sosial setengah bule yang berjiwa timur - tengah. Buku itu tipis, saya beli bulan nopember 1998 terbitan yayasan Obor.
Menurut EWS, dengan mengutip dan memperbandingkan beberapa pendapat pakar filsafat, para intelektual adalah pencipta bahasa --dalam arti dia merupakan penyampai dan tukang publikasi dari segala ide yang menuju ke perbaikan kemaslahatan umum. Namun, catatan penting dari EWS, kaum intelektual bukan hanya sebagai boneka atau juru bicara semata.
Intelektual adalah figur representatif dari persoalan - persoalan itu sendiri. Saya simpulkan, bahwa kaum intelektual harus menapakkan makna terhadap apa yang dilontarkan. Ya. Makna. Karena kaum intelektual adalah kaum yang membangun kesadaran manusia lainnya, untuk itu dia butuh 'makna'. Dalam tulisan EWS, dia mengutip pendapat Julien Benda yang kondang itu, namun, saya malah sengaja menyejajarkan dengan pandangan - pandangan Ali Syari'ati, jagoan intelektual muslim - pemikir revolusioner asal Iran. Syari'ati seringkali 'membebankan' perjuangan terlalu berlebihan kepada kaum intelektual atau cendekiawan, yang dalam pendapat Syari'ati disebut dengan 'raushanfikr'.
Menurut Syari'ati, dalam suatu masyarakat yang tengah berjuang untuk menjadi ideal membutuhkan tokoh intelektual yang mampu melontarkan pemikiran, menyadarkan masyarakat, merintis ideologi masyarakat, dan menggerakkan masyarakat tersebut untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Membangun kesadaran biasanya akan kontradiktif dengan posisi status quo (ihwal posisi ini saya ulas sedikit di paragraf berikutnya). Dan dalam dunia ini tauladan intelektual versi Syati'ati adalah Muhammad pendakwah Islam.
EWS juga mengingatkan bahwa posisi kaum intelektual selalu berada di jurang yang curam. Pernyataan yang cukup mengganjal. Karena selalu berpikir kritis dan mendasar maka posisi kaum intelektual adalah cenderung beroposisi ketimbang akomodasi. Walau bagi saya hal ini terlalu berat, namun EWS memastikan hal itu. Pasti. Intelektual cenderung tidak akomodatif. Dan, karena tuntutan untuk 'tidak sekedar berbicara', melainkan harus bertindak dan bergerak sebagai rentetan aksi ideologi, maka konsekwensi oposisi ini semakin berat, setidaknya bagi saya. Namun, sekali lagi EWS memastikan. EWS mencontohkan posisi non-akomodatif seorang intelektual Italia bernama Gramsci yang berlangganan dipenjara oleh Mussolini.
Komposisi oposisi ini semakin menjengkelkan karena ternyata --menurut Julien Benda dan diamini dengan lantang oleh EWS, jumlah kaum intelektual ini tidak pernah banyak alias sedikit sekali. Sedikit, tetapi harus memberikan penetrasi kepada persoalan sosio-kultur, sekaligus menggagas ide, menyadarkan secara kolektif, dan menggerakkan.Tolong cocokkan dengan komunitas sekitar anda ihwal minoritas ini. Minoritas yang menggerakkan, oposisi.
Dengan segala kondisi itulah, maka dugaan bahwa setiap revolusi pasti terkait dengan peran intelektual, demikian juga keterlibatan kaum intelektual dalam segala pancaroba revolusioner dan atau kontra-revolusi, pastilah tidak bisa dihindarkan lagi.
Mengulang ketakutan saya sendiri. Terus terang, selepas dari bangku kuliah, saya punya cita - cita menjadi seorang intelektual. Tolong ledek saya bila memang anda menginginkannya. Namun, mendalami tulisan EWS ini saya jadi semakin kecut karena pola perjalanan seorang intelektual versi EWS ini sungguh riskan. Kadangkala karena saya merasa 'sok intelektual' maka bisa saja polah saya akan berujung kepada romantisme semata. Dan hal ini juga tidak diinginkan. Problem masyarakat, ketidak-jujuran, tidak akan selesai hanya melalui tahap romantisme. Harus melalui aksi yangmenumbangkan.
Mengutip pendapat C.Wright Mills, EWS menyampaikan bahwa peran intelektual saat ini adalah menyingkap topeng dan menghancurkan visi stereotip dan intelek dengan mana komunikasi modern membanamkan kita. Well. Susah banget saya mencoba mencerna kalimat sosiolog itu. Brengsek, otak saya belum nyampe. Bila memang terlalu sulit, kali ini saya mencoba meretas jalan saya sendiri. Saya mencontek EWS. EWS juga melakukan hal serupa, menyisir jalan dan sejarah dia sendiri untuk menuliskan makna - makna peran intelektual. Tapi bedanya nyata: EWS adalah intelektual beneran, saya adalah bocah sok intelektual.
Untuk menjalankan peran intelektual berbasis pemikiran logika, saya tidak sepenuhnya bisa akomodatif terhadap 'rasa'. Saya kesulitan merajut makna dari 'rasa'. Padahal dari 'rasa'-lah kepekaan itu muncul. Karena mengabaikan unsur perasaan ini, maka saya tidak pernah bisa menjangkau pantai romantisme, apalagi melankolis. Kesulitan ini saya jawab dengan logika, sampai suatu saat tindakan saya mengundang petir yang menyadarkan saya. Seorang teman baik yang mendengar saya berujar seperti itu langsung menukas dengan kalimat yang menusuk dan menyadarkan saya:".....apa yang salah dengan romantisme ?". Sengit dan menyengat. Namun menyadarkan walau sejenak menumbukkan ke culdesac.
Saya baru sadar, bahwa perasaan merupakan belati yang cukup tajam untuk menorehkan slogan revolusi yang menggerakkan seperti apa yang dibilang oleh Frantz Fanon. Lontaran kebebasan dari ketertekanan. Karena rasa, maka ada peduli dan kepekaan.
Belum usai saya mengerti sepenuhnya tulisan EWS, namun pikiran saya sudah melayang entah kemana, membayangkan bahwa kaum intelektual tidaklah bersemayam dalam kedamaian. Tetapi dia berlari dalam proses perdamaian. Dan ketika kedamaian itu terwujud, sang minoritas dan oposan itu sudah tidak lagi berada disitu. Tinggal bayangan. Dia berlari kembali dalam kesendirian sebagai representatif problem, sebagai tokoh yang 'gentle'. Sendiri dan terasing, berperang di pihak yang lemah dan tak terwakili. Hanya sesekali diuntungkan oleh romantisme dan legenda. Dan hal ini tidak pernah usai. Berat nian. Baca aja udah capek, gimana njalaninnya?
Dan buku tipis itu masih tergulung dalam genggaman tangan. [] haris fauzi 17 desember 2007
salam,
haris fauzi
haris fauzi
Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
No comments:
Post a Comment