Saturday, December 01, 2007

kenisah : sepeda dan 'solsbury hill'

SEPEDA DAN 'SOLSBURY HILL'
Climbing up on solsbury hill
I could see the city light
Wind was blowing, time stood still
Eagle flew out of the night
He was something to observe
Came in close, i heard a voice
Standing stretching every nerve
I had to listen had no choice
I did not believe the information
Just had to trust imagination
My heart was going boom boom, boom
"son," he said, "grab your things, i've come to take you home."
("Solsbury Hill" - Peter Gabriel Concert - Growing Up Live)
Beberapa hari lalu saya memutar DVD rekaman konser Peter Gabriel tersebut sebanyak tiga kali, --meng-usai-kannya hingga lewat tengah malam--, dan belum puas juga.
Awalnya adalah ketika minggu lalu saya ke supermarket mengantar Istri belanja, dan kebetulan di area elektronik yang berjualan televisi super lebar itu memutar lagu ini, saya-pun mengulangnya hingga tiga kali –khusus lagu 'Solsbury Hill' ini. Hingga sang penjaga terheran – heran, apalagi saya tidak bertanya, apalagi saya tidak beli. Dalam konser tersebut Gabriel bernyanyi sambil bersepeda, berkeliling panggung yang merupakan lingkaran di tengah – tengah penonton. Sepeda yang ditungganginya berwarna krom indah sekali. Sekali lagi, indah sekali. Pernah sudah hal ini saya ungkapkan kepada teman baik saya (….ah, bukan sekedar baik, ia teman yang sangat baik). Sayangnya dia belum pernah menyaksikan aksi indah Gabriel ini. Mungkin lain kali.
***
Sabtu pagi ini cerah dan sejuk sekali. Mungkin karena kota kecil dimana kami tinggal, Bogor, sejak siang hingga malam di guyur hujan tak kunjung berhenti. Mereda di tengah malam. Dan pagi itu sejuk hawa oksigen menyelimuti mengilhami kami untuk segera keluar rumah. Salma berangkat sekolah sekitar pukul enam pagi kurang sedikit (Salma sekolah di SD Negeri, dan Sabtu bukan hari libur). Adiknya –Si Moncil-- libur dan ikut saya ngobrol dan bermain – main dengan tetangga yang kebetulan juga sedang menikmati sejuknya udara pagi itu. Beberapa Bapak - Bapak bertelanjang kaki menapak ke konblok jalanan komplek. Melintas, saling sapa, atau mampir ikutan ngobrol. Ngobrol masalah mobil, macetnya jalanan kemaren, dan…..sepak bola.
Anak – anak berlarian saling kejar belalang di taman di tengah – tengah kepungan rumah. Yang bayi juga ikutan berteriak – teriak memekik girang. Istri saya menjumpai beberapa tetangga sobatnya dan saling menggoda anaknya.
Maksud hati sebenernya hendak mencuci mobil, tapi berhubung banyak tetangga yang lagi pada ngobrol ketawa – tawa, ya akhirnya saya menunda maksud tadi. Ikutan 'ngetuprus' jadinya. Yah, seminggu sekali, bercanda dengan tetangga, bersantai, mumpung cuaca juga sangat bersahabat.
Memang seringkali kami tidak membikin – bikin acara jalan keluar komplek, karena kami ogah untuk beradu kebisingan di luar sana. Kalau tidak ada acara yang musti beranjak keluar, maka kita lewatkan waktu di rumah, di taman, di jalanan komplek ini. Kadang kami sesekali nongkrong di setu (danau kecil buatan) tak jauh dari rumah. Cuma sayangnya akhir – akhir ini kondisinya tidak ter-urus. Ya. Rumah ini sudah cukup tenteram bagi kami. Jauh dari lintasan jalan raya, tumbuhan merindang di taman depan rumah, anak – anak bebas berlarian dan bersepeda di jalanan. Apalagi ?
***
Seminggu lalu, paket dari Ibu saya –dari Malang—tiba. Sepeda jengki merk "Phoenix" bikinan RRC, kalau Ibu menyebutnya dengan RRT, Republik Rakjat Tjina. Konon cerita saya dibelikan sepeda tersebut pada tahun 1980-an, ketika saya kelas tiga Sekolah Dasar. Itulah kendaraan yang saya punyai satu – satunya sejak SD hingga akhirnya saya lulus kuliah. Banyak sekali gunanya kala itu, apalagi ketika harus membantu Pak RT membagikan undangan untuk seluruh warga kampung, misalnya. Dan begitu saya lulus kuliah, dan pula adik saya menyusul lulus, maka sepeda itu jadi onggokan di ujung gudang. Entah berapa tahun dia bercengkrama dengan jaring laba-laba dan debu atap.
Kalao boleh cerita, saya memang mengumpulkan beberapa benda kenang-kenangan jaman dulu. Beberapa saat lalu saya membawa satu set papan nama, yang terdiri dari dua keping papan berwarna pelitur coklat tua. Masing – masing ukurannya sekitar tiga puluh senti lawan tujuh senti, tebalnya satu senti kira – kira. Papan pertama bertuliskan nama Bapak saya :"Drs. Fahadaina – Mayor Inf.". Papan kedua bertuliskan : 'KA ROH IS'. Artinya Kepala Kerohanian Islam. Ya. Itu jabatan terakhir mendiang Bapak di ke-tentara-an. Papan – papan itu semula di gantung di atas pintu ruang kantor Bapak. Dan ketika dipindah-tugaskan –sekitar tahun 1983-an, Bapak mengambil kedua papan tersebut, dan memberikannya kepada saya. Dan walhasil sekarang tergantung di rumah Bogor.
Selain papan, lebaran tahun lalu saya juga menggondol tape - compo yang dibelikan oleh orang tua ketika saya duduk di bangku SMP. Mengangkut seluruh kaset koleksi jaman SMA hingga kuliah –dimana kebanyakan dibeli di pasar loak. Tiga kaset pertama yang saya beli masih ada dan layak putar hingga kini. Dan tak lupa tentunya buku – buku, termasuk buku – buku koleksi Bapak ikut bermigrasi ke Bogor.
***
Sepeda "Phoenix" itu warnanya biru. Sudah mulai memudar warnanya. Namun bunyi rantai melawan gear-nya masih seperti dulu…tik...tik...tik…! Komponen ini masih belum pernah tergantikan. Loncengnya sudah raib entah kemana. Dua slebornya, depan – dan belakang sudah tidak bisa ketemu walau di cari di sudut manapun di rumah Malang. Ketika paket sepeda tersebut tiba, beberapa komponen harus diganti, diantaranya yaitu sistem pengereman, roda komplit luar – dalam – depan - belakang, serta sadel (jok) kulit yang sudah cabik – cabik itu. Sisanya orisinil RRT.
Sabtu pagi itu, setelah di rasa cukup waktu mengobrol ngalor – ngidul dengan tetangga, saya balik masuk rumah hendak mencuci mobil, kegiatan yang tertunda. Namun saya mengurungkannya sekali lagi, karena mata dan hati saya kepincut dengan sang Phoenix yang terparkir di samping sepeda Salma. Segera saya duduk di jok-nya. Genggaman tangan ini segera mengingatkan masa – masa kepengurusan Karang Taruna.
Mengetahui saya hendak bersepeda, Moncil akhirnya bergegas menunggangi sepedanya sendiri, dan bersi-cepat mengendarainya ke jalanan. Saya memberinya jalan duluan, lantas memundurkan sepeda melintas pagar hingga roda depan dan belakang bergantian bisa menjejak jalanan.
Pelan – pelan saya kayuh sepeda tersebut, seakan melayang melintasi konblok dengan tergetar teratur. Bunyi 'tik…tik…tik….' seakan menambah akselerasi mundur mesin waktu. Saya rasakan kesetimbangan kemudinya, ringan sekali. Pikiran saya melayang ke beberapa puluh tahun silam ketika saya mengendarainya memutar barak tentara, melintas lapangan latihan baris – berbaris, melintas deretan truk dan tank. Mengendarai melintas jalanan kota Malang, memutari alun – alun kota yang legendaris itu, berburu buku dan kaset loak di ujung kantor pos. Mengendarainya saban hari berboncengan dengan Kakak ke sekolah semasa SMA, disalip teman – teman yang bermotor dan bermobil.
Saya biarkan pikiran saya merantau, saya biarkan juga sepeda membawa saya memutar beberapa kali taman depan rumah sambil berdendang pelan :
…..
Climbing up on solsbury hill
I could see the city light
Wind was blowing, time stood still
Eagle flew out of the night
………
[] haris fauzi – 1 desember 2007


salam,
haris fauzi


Be a better pen pal. Text or chat with friends inside Yahoo! Mail. See how.

No comments: