Tuesday, December 18, 2007

kenisah : setelah larry gonick. apa ?

SETELAH LARRY GONICK. APA ?
 
Bagi saya jawabnya adalah Gola Gong, Astrid Lindgren, dan Mario Puzo. Tuntas sudah saya membeli dan membaca tiga buku seri Riwayat Peradaban buah tangan kartunis sableng Larry Gonick. Yakin tuntas ? ..eh,enggak ding… Tinggal bayarnya, karena saya membelinya menggunakan kartu kredit. Apalagi sebenarnya bundel komik karya Larry Gonick masih menyisakan satu buku lagi, yakni seri Peradaban Modern. Saya menunda untuk menikmatinya, agak klemunen mata dan kepala saya menuntaskan komik lucu tapi sarat pesan itu. Apalagi gaya celelekan-nya menggoda iman, atas ihwal inilah mangkanya saya bilang Gonick adalah kartunis sableng. Dari wajahnya saja sudah kelihatan. Tengoklah di halaman bagian belakang komik tersebut, ada foto dia terpasang nyengir.
 
Kenapa saya menjawab Gola Gong ? Selain karena antara saya dan Gola Gong adalah sesama penggemar mantan vokalis Genesis bernama Peter Gabriel, dan saya juga kadangkala menangkap berita ihwal 'Komunitas Rumah Dunia' yang dikelola Gola Gong bersama istrinya ; Tias Tatanka, maka jelas sekali karena saya mengenal Gola Gong dari tulisannya yang melegenda di majalah remaja Hai, berjudul Balada Si Roy. Itu bacaan populer ketika saya remaja. Hingar bingarnya hanya bisa dikalahkan oleh seri Lupus, tulisan Hilman,-- yang lebih populer dan men-'Duran - Duran', ikon kosmo masa itu. Roy adalah petualang, Lupus adalah kluyuran. Roy adalah Peter Gabriel, Lupus adalah Simon LeBon.
 
Semula saya hendak membeli kumpulan cerita Balada si Roy tersebut. Pasti hebat rasanya punya koleksi buku seperti itu. Namun buku - buku tersebut saya keluarkan kembali dari basket belanjaan karena ada yang lain, yakni serial Lazuardi, bikinan Gola Gong juga. Bisa jadi seri Lazuardi tidaklah sepopuler Balada Si Roy, tetapi coba bacalah narasinya. Lazuardi adalah Si Roy yang lebih spiritualis. Mungkin anda awalnya akan ragu, tetapi saya tidak. Ada beberapa kejadian yang membuat saya mantab. Bung Gola Gong pernah berkirim surat elektronik kepada saya yang hina ini. Dalam surat tersebut Gola Gong bercerita bahwa dia pernah begitu sengsara dan sakit, sehingga dia melakukan negoisasi dengan malaikat maut untuk menunda kematian. Dan, akibat peristiwa ini Bung Gola Gong mengaku mulai menapak jalur spiritual. Balada Si Roy yang sudah demikian keren saja masih ditambah ranah spiritual ? Wah, ini sih perfeksionis. Tak ragu, saya ambil ketiga judul seri Labirin Lazuardi:Langit Merah Saga, Ketika Bumi Menangis, dan Pusaran Arus Waktu. Tentunya itu berarti ada tiga buku yang siap dibuka segel plastiknya, lantas dibaca, dan bulan depan dibayar tagihan kartu kreditnya. Segampang itukah ? ..eh,enggak ding, soalnya Istri pasti menanyakan kenapa bulan – bulan ini cukup banyak tagihan yang tidak terkait dengan belanja bulanan.
 
Astrid Lindgren mulai saya gandrungi sejak adik saya mengoleksi buku seri 'Anak - Anak Desa Bullerbyn' yang mana buku itu kini telah raib entah kemana. Katanya sih disumbangin, entah juga mungkin diloakin. Lindgren terkenal dengan seri Pipi Kaus Kaki Panjang, tapi saya kurang menyukainya. Greget Lindgren makin nyata bagi saya ketika tahun 1997 saat jalan - jalan di salah satu toko buku di Jogjakarta dengan pacar  membeli buku tulisan Lindgren berjudul "Emil dari Lonneberga" Saya beli karena tipis, murah, dan warnanya kuning. Saya beli juga karena alasan kampungan, yakni daripada nggak beli apa – apa. Andai ini terjadi –saya tak beli apapun--  pasti saya tinggal membayangkan martabat saya bakal runtuh dihadapan sang pacar. Emil adalah anak lima tahun yang nakalnya seperti setan. Rusuh abis. Mengingatkan saya kepada kenakalan saya….eh, nggak ding. Saya dulu adalah anak kecil yang tidak rusuh.
 
Nah, mungkin sekitar empat bulan lalu, saya mendapatkan --tentunya dengan membeli-- dua buku tulisan Lindgren yang lain, judulnya 'Lotta' dan 'Karlsson Si Manusia Atap'. Saya membelinya dan membacanya, keren. Anak saya yang masih berusia tujuh tahun juga melahap dengan antusias, terutama 'Lotta', pun Istri saya demen banget dengan 'Lotta' dan dengan segera menganjurkan saya agar segera melengkapi buku - buku karya Astrid Lindgren ini. Buku ini juga coba saya tawarkan kepada rekan kantor. Responnya positif. Ajaib memang buku 'Lotta' ini.
 
Suatu hari saya musti mengantar anak saya yang diundang temannya berulang tahun. Kedua anak saya ikutan kondangan ini, pastilah dengan Ibu-nya karena mereka telah saling kenal baik. Anak kenal anak, Ibu kenal Ibu. Lantas saya ngapain ? Walah, saya pernah mengantar anak saya datang ke acara ulang tahunan seperti ini. Saya bengong sendirian, anak - anak cekakakan, Ibu - Ibu cekikikan. Saya bego layaknya keledai. Atas dasar pengalaman inilah, maka Istri dan kedua anak saya saya tinggal, dan saya sejenak meratapi nasib kesendirian ini dengan jalan - jalan ke toko buku terdekat. Walhasil, saya mendapatkan beberapa judul buku karya Astrid Lindgren berikutnya. Tanpa pikir panjang lagi segera saya masukkan ke keranjang buku - buku tersebut, tentunya buat dibeli, karena nyolong gak bakalan mungkin oleh sebab nyali saya nggak cukup, kuatir digebugin satpam. Ketiga buku itu judulnya adalah 'Semua Beres Kalau ada Emil', 'Kenakalan - Kenakalan Baru Emil', dan 'Hari - hari Bahagia di Bullerbyn'. Puas dan merasa beruntung karena bisa mendapatkan buku – buku yang agak sulit dicari itu. Mungkin bisa lebih merasa beruntung lagi apabila bisa nilep alias nyolong buku tesebut. Tetapi ini tak kejadian. Bukan karena iman, tetapi karena takut.
 
Sebelum ini, karena anjuran Istri saya, saya cukup getol mencari judul - judul karya Lindgren. Pernah saya sedikit meradang di sebuah toko buku ketika menjumpai tidak ada satupun buku yang ada, padahal di katalog toko buku tersebut hampir semuanya ada daftarnya. Mungkin belum rejeki, dan barulah ketika musti melepas waktu mengantar bocah, saya berkesempatan mendapatkan tiga buku tersebut. Inipun sama, bulan depan musti dibayar tagihan kartu kreditnya. Kan gak nilep ?
 
Aslinya saya suka membaca buku petualangan termasuk cerita detektif dan kisah mafioso. Mangkanya ketika saya membeli buku 'The Sicilian' karya Mario Puzo, Istri saya sempat komentar;" ..Itu buku dibawa kemana - mana. Bangun tidur, habis makan, langsung nggegem (menggenggam) buku mafia...". Ya karena keren, mangkanya saya menyukainya. Asli keren. Maco, mangan coro.
 
Saya sempat berkirim pesan pendek kepada sahabat saya, menanyakan manakah karya Puzo yang bagus selain 'The Sicilian'. Jawabnya adalah 'Godfather' dan 'The Last Don'. Kedua buku itu kelanjutan kisah dari buku 'The Sicilian', walau bisa dibaca secara terpisah. Sahabat saya menambahkan,"...saya juga punya yang berjudul 'Omerta'..". Waduh. Setelah sedikit menyisir rak buku, ketiga judul buku tersebut saya temukan. Untuk judul 'Godfather' tersedia dua pilihan yang hard cover dan sampul lunak. Sebetulnya saya pengen ada pilihan ketiga: yakni yang gratis, tapi itu tak ada cerita. Akhirnya saya memilih yang sampul lunak, lebih murah. Ketiga buku ini melengkapi koleksi film 'Godfather' yang ada di rumah. Namun tidak melengkapi koleksi buku colongan.
 
Acara selanjutnya adalah : membacanya...! Ah, salah lagi tebakan kali ini. Yang benar adalah membayar tagihan kartu kreditnya, dengan terlebih dahulu menyembunyikan buku itu dari mata Istri saya. Saya menginapkan buku – buku tersebut beberapa hari dalam bagasi mobil.  Maksudnya biar nggak ditanyain harganya. Harga buku Puzo relatif mahal di mata saya, apalagi bagi Istri. Perkara membacanya mungkin bisa ditunda, apalagi sekarang kepala saya sedang dijejali masalah wanita.....eh, nggak ding, karena saya dalam dua hari membolak - balik buku kecil tulisan Edward.W.Said. Sumprit, Edward W.Said mengacak - acak idealisme saya, dan seakan – akan memancing saya untuk bertindak. Gila bin edan, membaca buku kecil tersebut bagi saya dampaknya seperti membaca tulisan Ali Syari'ati, atau tulisan Frantz Fanon. Saya seakan diminta untuk marah, emosi, merasa bodoh, dan hendak menghunus belati. Buku Edward W.Said tersebut berjudul 'Peran Intelektual'. Sebaiknya anda tidak membacanya. [] haris fauzi – 18 desember 2007


salam,
haris fauzi
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

No comments: