Tuesday, October 07, 2008

kenisah : baju lebaran

BAJU LEBARAN
 
Di kampung saya tinggal, --bukan kampung mudik lho ya-- solat Ied dilaksanakan di lapangan tenis.Selesai itu, kita rame - rame bersalaman di muka pos gardu.Terlambat saya datang, maklum, saya sempat ngobrol dulu dengan para pengurus mesjid yang kebetulan memang sudah kenal akrab, apalagi sebaris dengan saya sholat di shaf terdepan.
Sudah banyak yang bergerombol di pos gardu. Ini asli adalah warga muslim yang tetinggal belum atau yang tidak pada mudik. Ada sekitar dua puluh lima pasang, berikut anak - anaknya....kalau saya hitung sekitar lima puluhan orang dewasa.  Tertawa dan saling bercanda di depan pos gardu, khas tipikal warga komplek kami, nggak tua nggak muda doyannya guyon melulu. Sekali saya kena permak, saya disapa dengan," Selamat Lebaran Pak Petani...! cangkulnya kok gak dibawa ? Ha..ha...ha....". Dia mengacu pada pakaian yang kala itu saya kenakan untuk sholat Ied hari itu.

Hari itu tanggal satu Oktober, pas lebaran.  Memang sudah kebiasaan saya, tidak terlalu merisaukan baju yang dikenakan buat lebaran, karena menurut saya bukan itu esensinya. Baju ya tinggal baju saja. Oke. Saya coba diskripsikan apa yang saya kenakan pada hari itu. Saya mengenakan kaos oblong warna hitam. Salah satu baju kesukaan saya. Kaos itu saya beli seharga delapan ribu rupiah pada tahun 1993, di saat saya masih kuliah dan melancong ke Taman Safari Puncak. Untuk ukuran jaman itu, saya pandang mahal harga segitu. Semula memang pada bagian depan terdapat gambar macan --salah satu hewan kesukaan saya-- berwarna krom. Namun sekarang, setelah lebih sepuluh tahun digilas mesin cuci, pasti gambar tersebut sudah memudar. Bukan hanya gambarnya, warna dasar hitam kainnya juga sudah berbulu dan tidak kencang lagi. Namun, semakin kendor, maka pakaian itu semakin nyaman untuk dikenakan.

Semula saya hendak mengenakan celana panjang putih yang sudah tergantung di kamar. Maklum, dikarenakan Istri memberi cuti seminggu kepada pembantu, maka pakaian harus di hemat, jadi yang sudah tergantung, sebaiknya didayagunakan semampunya. Namun saya urung mengenakan celana panjang putih itu. Untuk berangkat solat Ied saya akhirnya tidak mengganti pakaian yang sejak subuh saya kenakan. Selain kaos oblong hitam, celana tiga perempat warna putih juga akhirnya saya kenakan ke lapangan. Saya nggak mau ribet. Oh, ya. Yang saya maksud dengan celana tiga perempat adalah celana yang tingginya setengah betis, jadi berada di bawah dengkul, tetapi sekitar sejengkal setengah dari tapak kaki ke atas. Jadi kayak celana monyet. Celana putih itu sendiri semula adalah celana seragam pembagian dari pabrik dimana saya bekerja. Seingat saya dibagikan tahun 1998. Dan karena saya pindah kerja ke lain pabrik, maka celana itu tidak saya kenakan lagi ke pabrik, melainkan saya pakai buat di rumah saja. Biar nyaman dikenakan, celananya sendiri saya potong dibagian setengah betis. Saya gunting begitu saja, nggak perlu sama persis antara kaki kanan dan kaki kiri. Ujungnya pun tidak lagi saya lipat jahit. Saya biarkan terburai benang - benangnya. Ini celana yang cukup nyaman untuk saya kenakan sehari - hari.

Namun, saya tentunya tidak bisa ber-sholat mengenakan celana seperti itu. Kurang rapat menutup auratnya. Untuk itu, saya pake sarung. Sarung ini adalah sarung warisan dari Ayah. Seingat saya dibeli saat saya SMP. Mangkanya --mengingat umur uzurnya-- di sambungannya ada 'bedhah' atau sobek sekitar satu jengkal. Repotnya, saya tidak biasa mengenakan sarung untuk berjalan atau beraktivitas. Akhirnya sarung itu saya kenakan hanya ketika sholat, selesai sholat, sarung itu saya selempangkan ke bahu seperti Si Unyil.

Nah. Atas dasar pakaian yang saya kenakan itulah, saya pas lebaran kali ini dijuliki dengan Pak Petani. [] haris fauzi - 2 oktober 2008


salam,

haris fauzi

No comments: