SEBUAH PARADIGMA TENTANG PARADIGMA Sejak tahun 1993, kira - kira, saya senang mengonsumsi minuman isotonik. Namun, karena harganya cukup mahal, dan kala itu saya masih tertatih - tatih sebagai mahasiswa, maka saya baru bisa dengan leluasa mengonsumsi dikala sudah bekerja, paska 1995. Di samping tuntutan karena ternyata bekerja lebih meletihkan ketimbang kuliah. Tidak begitu banyak, paling dalam seminggu saya meminumnya satu atau dua kaleng, maksimal tiga-lah. Ya. Kala itu memang minuman isotonik masih dikemas dalam kaleng seukuran 330 mili-literan (kalo ga salah) . Beberapa kaleng bekas kemasan minuman tersebut tidak saya buang. Saya manfaatkan sebagai tempat lilin. Maklum, rumah kami di seputaran Bogor Utara, sering padam listrik bila turun hujan lebat atau badai petir. Caranya begini, kaleng tersebut setengahnya saya isi dengan coran semen sehingga berat dan mampu menegakkan lilin. Trus, tinggal lubang atasnya diperbesar sesuai diameter lilin yang hendak ditancapkan. Aman dan kokoh. Jadi, ada sekitar sepuluh tempat lilin di rumah kami, semua berasal dari kaleng minuman isotonik tersebut, berwarna dominan biru langit dengan celeret putih-nya yang khas. Tahun 2000 lahir anak pertama kami. Rumah kami masih tetap menjadi langganan listrik padam. Dan kami merasa aman dengan tempat lilin bekas kaleng isotonik tersebut. Kami cukup menjaga anak bayi kami agar tidak terlalu mendekati lilin tersebut. Lucunya, bayi itu menyukai nyala lilin, sekaligus menyukai warna biru tempat lilinnya. Di setiap sudut, dia selalu hendak menghampiri lilin, berikut tergirang ketika diijinkan memegang kaleng bekas tersebut. Ketika sudah sekolah, barulah saya menyadari, ternyata anak saya memang menyukai warna biru, warna dominan kaleng isotonik tersebut. Dan tahun 2002, kira - kira, minuman isotonik itu mengeluarkan produk terbarunya. Yakni minuman isotonik berbentuk serbuk dalam kemasan saset. Tinggal diseduh, aduk, bisa diminum. Karena harganya lebih murah, maka saya cenderung membeli yang kemasan saset. Kemasannya tipikal, yakni warna biru mendominasi dengan celerat putih yang khas. Saat itu anak kami, Salma, sudah besar. Sudah bisa berpikir cukup terang. Ketika melihat Istri saya belanja dan salah satu barangnya adalah minuman saset tersebut, kontan Salma yang masih berumur dua tahunan berujar :" mama beli tempat lilin..." Inilah paradigma. Salma, yang sejak kecil melihat, bahwa warna biru dan celeret putih adalah tempat lilin, maka ketika melihat hal tersebut di tempat lain, dia akan menganggap kesamaan itu sebagai tempat lilin juga. Tertancap kuat. Bahkan ketika melihat baliho besar yang meng-iklan-kan minuman tersebut, Salma masihlah beranggapan bahwa baliho tersebut adalah ihwal lilin. Itulah mengapa Stephen R. Covey dalam bukunya yang terkenal "7 Habits of Highly Effective People" membuka tulisannya dengan kiat atau cara - cara mengubah paradigma. Sungguh ini bukan basa-basi. Bagi Covey, apalah artinya membaca tujuh kiat, bila ternyata orangnya tidak mau mengubah paradigmanya. Tidak akan berguna. Covey memandang paradigma sebagai sesuatu yang sangat krusial untuk bisa meningkatkan harkat dan efektivitas manusia. Dan tidak sekedar krusial. Ternyata untuk mengubah paradigma adalah hal yang tidak mudah, dan mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama. Tentang paradigma anak saya tadi. Kira - kira, saya membutuhkan waktu satu tahun untuk bisa mengubah pandangan dia ihwal tempat lilin tersebut. Coba tengok, untuk mengubah paradigma tentang hal sepele seperti itu, saya membutuhkan waktu satu tahun. Marilah sekarang kita berkaca kepada bangsa ini. Banyak kejadian yang semestinya bisa diperbaiki, namun termentahkan gara – gara paradigma yang ada yang mana telah tertancap kuat. Bila kita mengambil contoh gampang ihwal pungutan liar di jalanan --atau biasa disebut mel-- dari pengemudi truk berlebih muatan yang disetor kepada polisi. Sebetulnya, apakah oknum polisi tersebut tidak sadar akan kesalahannya ? Apakah si sopir tidak faham akan penyuapan ? Saya yakin semuanya sudah dewasa dan berakal sehat. Mengerti hal tersebut adalah kesalahan. Namun, mengapa hal tersebut terjadi berulang - ulang ? Meremehkan ? Ketagihan ? Mungkin saja. Tetapi faktor utama terletak kepada paradigma. Bahwa hal tersebut biarpun salah, tetapi memperlancar urusan dan menguntungkan kedua fihak. Toh tau sama tau ini. Maka, jadilah pelanggaran berjamaah. Mungkin saja alasan keterpaksaan menjadi prioritas. Bila kita melihat contoh yang juga cukup gamblang namun rumitnya minta ampun, yakni acara gusur - menggusur pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima seperti kejar – kejaran dengan petugas ketertiban kota. Namun suatu ketika mereka akur bila suatu saat para pedagang itu ditarik retribusi. Entah ini retribusi dianggap sebagai retribusi murni, atau dianggap sebagai uang 'backing'. Rumitnya bisa dimulai disini, ketika gusur - menggusur digencarkan kembali. Merasa sudah membayar retribusi, pedagang pasti ogah pergi. Apakah alasan penggusurannya ? Karena toh para pedagang kaki lima itu juga sedikit nyinyir, bahwa setoran retribusi itu bisa saja masuk kantong aparat, tidak untuk kemaslahatan negara. Belum lagi urusan tata kota yang tidak lepas dari kepentingan sebagian kecil konglomerasi. Kadangkala pemodal pembangunan memaksakan dengan halus rencana bisnisnya sehingga –sama dengan pedagang kaki lima—melanggar tata kota. Namun karena duit punya kuasa, maka peraturan itu bisa dikompromikan dengan akomodasi kepentingan bisnisnya. Semua faham ihwal posisi kesalahan dan letak benarnya. Dan apabila ada sebuah kesalahan yang harus dilakukan, namun diketahui dua fihak, maka mereka-pun menganggap semuanya telah beres. Setelah ini, kerumitan demi merumitan akan diatur seperti menumpuk jerami, hingga akhirnya terlalu sulit untuk diurai. Banyak elemen yang berbicara disini, namun bagi saya hal ini adalah kasus yang tak bisa lepas dari elemen yang disebut paradigma. Paradigma yang salah. Karena memandang sebuah kesalahan sebagai bentuk yang boleh dibenarkan bila telah dimaklumi bersama oleh pihak - pihak tertentu. Awalnya kecil, namun karena terangkai dengan yang lain akhirnya bikin puyeng. Makin rumit dan makin rumit. Saya bukannya memandang pesimis terhadap perubahan dan perbaikan dalam negara ini. Sungguh perubahan itu telah terjadi, seperti apa kata Goenawan Mohamad, bahwa perubahan pada diri bangsa ini telah pernah terjadi, pernah ada. Namun, perubahan belumlah tentu perbaikan. Syukurlah bangsa dan negara kita sudah berubah. Ini penting dan patut disyukuri. Karena dengan perubahan, barulah kita beranjak menuju perbaikan. Alangkah susahnya hendak berbenah bila paradigma kita tidaklah mau berubah. Ya. Sekali lagi saya tidak memandang pesimis. Namun, saya sekedar ber-perspektif ke depan dan kebelakang sekaligus. Bahwa apa yang pernah terjadi dan berubah di negara ini, membutuhkan waktu yang cukup lama. Bila anak saya untuk mengubah paradigma sederhana –ihwal tempat lilin tadi-- butuh waktu satu tahun, bahkan bangsa ini membutuhkan waktu hampir dua puluh tahun untuk faham dan mengubah paradigma tentang suksesi kekuasaan. Terasa alot. Kita semua tahu dan maklum, bahwa era 80-an adalah tabu membicarakan pergantian kekuasaan. Semua bilang seperti itu. Namun, apakah jaman itu tidak ada yang sadar bahwa kekuasaan yang terpusat kepada satu orang seperti itu hanyalah akan mengubur demokrasi ? Entah kalo negara ini monarki. Tapi ini republik, Bung ! demokrasi rakyat kuncinya. Dalam republik, suara rakyat adalah suara Tuhan. Tetapi, kita semua kala itu memakluminya, atau mungkin ketakutan dengan hal itu. Hingga bangsa ini baru berubah pada penghujung abad dengan badai reformasi yang menghanyutkan banyak pengorbanan. Ya. Bangsa ini baru berubah pada jaman itu, setelah dua puluh tahunan. Berubah ke yang lebih baik ? Belum tentu ! Kala itu bangsa ini masih bersyukur sudah bisa berubah. Merubah paradigmanya tentang suksesi. Setelah ini, barulah bangsa ini hendak merencanakan perubahan menuju perbaikan. Menuju perubahan dan perbaikan akan hal – hal lain, menyebar pelan – pelan. Saya nilai pelan, karena memang setelah lebih sepuluh tahun, dampak ledakan reformasi ini masih merayap sahaja jalannya. Ya walaupun terasa berat, perjalanan yang bakal terasa lama dan tak hendak bisa diperkirakan sampai kapan, dan dengan langkah yang tertatih – tatih, namun, langkah itu harus tetap kita ayunkan. Adalah prestasi bila bangsa ini sudah melewati koridor perubahan. Tak hendak pesimis. Karena bila kita berkecil nyali, maka kita malah merugi banyak sekali. Ongkos perubahan yang sudah dibayarkan terlalu banyak. Dan bila kita berputus asa, maka bayaran itu akan sia – sia menguap begitu saja. Dan, kelak, ketika bangsa ini hendak mencoba berubah lagi, maka akan membayar upeti yang mungkin lebih mahal lagi. Ya. Pengorbanan yang berulang pasti akan lebih mencekik dan membuat derita. Untuk itu tak ada pilihan lagi, untuk membawa bangsa ini memandang cakrawala yang lebih baik, perubahan yang sudah dirintis di era reformasi harus terus digulirkan. Saya yakin sebagian besar komponen bangsa ini menghendaki perbaikan dalam bernegara dan berbangsa. Perubahan dan perbaikan ini harus dimulai dengan kemauan untuk mengubah paradigma yang telah usang dan lapuk, namun mengakar kuat dan susah dicerabut ini. Mari kita membuka pikiran dan hati, agar bisa mengerti, bahwa betapa perubahan itu diperlukan untuk berjalannya perbaikan itu sendiri. Mari kita mencoba berubah, merancang paradigma baru dan memulai dari diri kita sendiri.[] haris fauzi - 23 oktober 2008
salam, haris fauzi |
No comments:
Post a Comment