Wednesday, October 15, 2008

kenisah : pramuka sakit gigi

 
PRAMUKA SAKIT GIGI
 
Sejak kecil saya menderita flu dan penyakit tenggorokan. Cukup berat. Oh ya, sebelum saya bercerita tentang sakit gigi, maka saya bercerita tentang sakit flu dulu. Nggak tau flu atau apa, yang penting hidung ini meler terus - terusan, batuk juga bertubi - tubi. Mungkin dasar anak kampung. Apalagi Bapak belum punya mobil, jadi kalo pergi malam, pasti keterpa angin, karena kalo nggak naik becak, ya naik motor. Hampir setiap malam tubuh ini dibalur minyak kayu putih atau balsem. Jaket-pun tebal lengkap dengan selendang membebat leher. Kota Malang dimana kami tinggal memang dingin kala itu.
 
Bertubi - tubi dengan urusan dokter, nama dokternya Bu Arif, namun nggak kunjung sembuh, akhirnya saya di gurah oleh dukun. Lendir yang dikeluarkan banyak sekali, saya memekik kesakitan. Rasanya itu jaman saya berumur lima tahun. Setelah peristiwa gurah itu, saya jadi jarang sakit, walau masih cukup sering dibanding anak lain. Tetapi dengan obat dari Bu Arif, segalanya beres. Repotnya saya jadi sering mengonsumsi obat - obatan. Dan konon, dari sinilah dimulai sakit gigi. Ada yang bilang, obat - obatan bisa mengacaukan pertumbuhan dan kekebalan gigi.
 
Memasuki jaman SD, saya beralih langganan. Urusan pilek udah beres, sekarang jadi langganan dokter gigi. Bapak seorang tentara, jadi saya berobatnya ke Rumah Sakit Tentara. RST Soepraoen namanya, letaknya cukup jauh dari rumah, musti naik bemo. Rumah Sakit tersebut bangunan Belanda, dokternya juga kebanyakan berwajah sangar. Untuk urusan gigi, beberapa kali --walau nggak selalu-- saya kebagian bu dokter yang relatif ramah, kalo nggak salah namanya Bu Eko Wiludjeng, dan satu lagi lupa saya. Yang belakangan ini akhirnya buka praktek dokter gigi deket rumah.
 
Jaman SD, kelas lima, saya pernah naik pangkat di kepramukaan, dari siaga menjadi penggalang. Tepatnya penggalang ramu, pemula. Dan entah kenapa saya naik pangkat juga ga cukup jelas. Pas ada acara kepramukaan, saya cuma dapat poin cukup bagus di baris - berbaris dan upacara. Urusan tali temali nilainya cukupan. Sementara sandi semaphor dan morse masih ketinggalan. Walau banyak yang lebih gak bisa dibanding saya.
 
Setelah naik pangkat itu, ada semacam kegiatan olimpiade pramuka se-gugus depan. Saya ikutan di nomer baris - berbaris, penjelajahan, dan baca puisi. Dan saya tidak mengira, penyelenggaranya adalah RST Soepraoen. Memang di lingkungan rumah sakit tersebut banyak pedesaan --kala itu-- dengan rute penjelajahan yang cukup menarik bagi siswa SD-SMP. Ada area perkuburan dan persawahan.
 
Pagi hari, pertandingan perdana adalah penjelajahan. Asli kelompok kami babak belur, banyak sandi dan tugas perjalanan yang tidak perpecahkan. Walau rute nggak pernah kesasar, dalam arti pembacaan medan sudah benar, setiap pos disinggahi dan ambil poin. Ketua regu, Bowo, sudah pasrah, karena detektif di kelompok itu adalah saya, dan saya di samping kecapekan tersengat matahari, banyak sandi yang saya belum pelajari. Huh. Capek habis. Saya nyerah, Bowo diam. Kami memasuki garis finish tepat waktu, namun lunglai karena tugas terbengkelai.
 
Waktu ashar, kami mengikuti lomba kelompok berikutnya. Capek, Rek ! Yakni baris - berbaris yang diadakan di lapangan parkir rumah sakit. Sekali lagi, saya menjadi juru aba, komendannya tetap Bowo. Leher sampe hampir putus kekeringan. Untung, walau letih, kami masih kompak. Dari dua pertandingan ini, kami semua mendapat hasil cukup, naik panggung, tapi nggak dapat tropi. Kisaran juara harapan, saya lupa tepatnya berapa.
 
Dan, pertandingan berikutnya, selepas maghrib adalah .....lomba baca puisi perorangan. Sehabis berteriak - teriak mengadu aba di lomba berbaris, saya harus menyimpan urat vokal saya untuk lomba baca puisi yang satu ini. Di lomba puisi ini, seperti yang lain, dibagi berdasar kelas. Ada kelas siaga, ada kelas penggalang. Seingat saya sekolah kami mengirim tiga orang pembaca puisi untuk ikut di kelas penggalang, yakni Maria, Ulfa, dan saya.
 
Setengah jam sebelum lomba, saya sudah memasuki aula. Saya lihat panggungnya, bikin gentar. Karena baru sekali itu saya akan manggung lomba. Pertama kali dalam hidup naik panggung, pas lomba RT aja saya nggak pernah mau ikut. Pak Mardji, guru sekaligus pelatih saya membenahi baju saya. Dan nggak nyangka, nggak jauh dari Pak Mardji duduk sosok yang saya hafal betul. Ya, benar, Bu Dokter Eko ! Lengkap dengan seragam tentaranya. Saya menghampirinya. Dia kaget dan tanya,"..ini putranya pak mayor, kan ?". Bu Eko merujuk pangkat Bapak saya. Memang, dalam kartu pasien, saya diatas-namakan orang tua, nama Bapak saya, jadi Bu Dokter hafal nama Bapak saya.
 
Tak lama kemudian, nama saya dipanggil oleh protokol lomba. Dengan bergetar saya naik panggung. Memulai ritual hormat dan pembacaan awal dengan canggung, demam panggung. Lawan saya kebanyakan anak SMP, sesama penggalang. Puisi andalan saya adalah "Cah'ya Merdeka", karya Usmar Ismail. Dada ini berdegup kencang.
 
Usai pembacaan dan penghormatan, saya berusaha elegan turun panggung, padahal pengennya ngabur aja secepatnya. Habis gitu makan malam. Menunggu pengumuman.

Saat pengumuman, saya tidak banyak berharap, mengingat lawan saya kebanyakan anak SMP, yang berpangkat penggalang juga tentunya lebih senior. "Lomba baca puisi tingkat penggalang putra", demikian suara protokol terdengar setelah mengumumkan banyak hasil lomba. Kuping saya menegak, jantung berdegup. "Juara tiga, Haris Fauzi dari SD Putra Rata-Tama..., juara dua.....", nggak kedengaran apa-apa lagi. Teman - teman bersorak seperti orang gila. Pak Mardji kaget dan gembira setengah mampus. Saya bingung harus gimana. Saya digelandang naik panggung. Disebelah saya, sang juara satu dan dua, semua anak SMP, tinggi besar. Sementara saya yang sakit - sakitan ini teronggok dipinggir dengan berat badan 22 kilo saja. Saya menerima piagam. Dan setelah turun piagam saya serahkan kepada Pak Mardji. Bu Dokter Eko menghampiri saya dan mengucapkan selamat,"...wah..Pramuka sakit gigi juara ya...". Saya cuma tersenyum dan ingin segera pulang guna melaksanakan kaul. Saya berjanji bila saya menang, maka saya akan mengubur teks puisi yang saya baca tersebut. [] haris fauzi - 15 Oktober 2008

salam,

haris fauzi

No comments: