Tuesday, August 19, 2008

kenisah : kuburan

KUBURAN
 
Dalam bukunya, Seno Gumira membeberkan tentang beberapa wali yang memiliki makam lebih dari satu. Sunan Bonang dan Syech Siti Jenar misalnya. Ada beberapa pembelaan kenapa suatu tempat dianggap menjadi kuburan seseorang, makam sunan. Salah satunya adalah karena dianggap sebagai petilasan --tempat singgah. Jadi aslinya akte tanah lokasi itu bukan makam, dan karena suatu hal petilasan hendak di-'keramat'-kan, makanya dianggap saja sebagai kuburan. Agar memberi makna spiritual, agar di-ziarah-i. Tidak ada kejelasan yang gamblang soal ini, dan lagi saya tidak hendak membahas jejak telusur makam para wali. Namun, bila memang ada petilasan yang lantas disebut sebagai makam, maka bagi saya itu sungguh keputusan yang nekad.
 
Bayangkan, hanya petilasan, dimana sang tokoh pernah memberi wejangan kepada para muridnya, maka tempat itu sudah bisa dianggap sebagai tempat sakral. Oke, saya setuju perihal 'penghargaan' kepada tempat - tempat pengajaran seperti pesantren dan kelas - kelas. Tapi bukan lantas nekad mengakuinya sebagai makam. Ini sudah kesalahan akte dan hak guna tanahnya. Halah. Saya tak hendak pula membicarakan soal sengketa tanah. Apalagi perijinannya.
 
Setelah saya timang - timang, ternyata memang benar. Hal paling sakral dalam budaya masyarakat jawa salah satunya adalah makam, kuburan. Baru membaca dari sebuah buku saja, bisa membuat kita terbawa arus magisnya, kalo ga bisa jadi malah merinding bulu kuduk. Tentunya buku yang menceriterakan ihwal kuburan. Baru membaca, baru nonton film-nya. Belum benar - benar berada di lokasi kuburan. Kuburan jawa tentunya.
 
Saya juga masih ingat, bagaimana makam keluarga dimana leluhur saya dikubur. Ketika memperbincangkan tempat ini, saya selalu terbawa atmosfer sakral kuburan Jawa yang cenderung bermuatan magis. Padahal makam itu ada di Kaliurang - Jogjakarta. Sementara saya dan adik saya ngobrolnya di Malang - Jawa Timur. Dan, atmosfer ini menjadikan suasana lebih eksotis,....dan mungkin kesan inilah yang akan mendorong kita untuk menziarahi tempat itu.
 
Gak bisa dipungkiri, unsur eksotis ini memang bisa mendorong orang untuk lebih menghargai dan lantas men-ziarah-i. Atas dasar inilah, maka petilasan, tempat mengajar, atau bahkan ruang sholat, bisa di-'tingkat'-kan ratingnya untuk di-ziarahi layaknya makam, layaknya kuburan. Mungkin itu alasannya. Mungkin.
 
Bila kembali ke urusan mendatangi kuburan, maka saya bisa tambahkan. Mungkin sekitar lima puluh meter dari kuburan, kita sudah terbawa atmosfer magisnya. Kita sudah mengurangi intensitas pembicaraan dan mengecilkan volume suara, berganti dengan berbisik seperlunya. Bila ada tawa yang meledak, tentu ada yang mengingatkan. Dua puluh lima meter kemudian mulai celingukan tengok kiri - kanan- belakang. Begitu kita masuk gerbang sambil berucap salam, maka walaupun tanpa aroma kemboja, kita akan semakin waswas. Melangkah seperlunya, lantas memasang sikap tunduk. Bila kita sudah terduduk di samping pusara, maka kita bersikap takzim.
 
Pengalaman lain saya dapatkan ketika harus penasaran dengan keberadaan makam tentara nazi. Entah kenapa ada makam tentara nazi (anak buah Hitler el Jermani) di dekat kampung saya. Dan saya membuktikan bahwa memang ada kuburan di sana, nggak tau isinya beneran tau enggak. Yang jelas ada 10 makam serdadu Jerman, kembar nisannya. Nisannya terbuat dari beton, membentuk tanda penghargaan yang sering diberikan oleh Pak Hitler kepada anak buahnya yang berjasa, bentuk Palang Baja. Dari nisannya, nama - nama yang di ukir disitu nama orang Jerman Eropa Aria, bukan orang Jawa.
 
Mencarinya agak kerepotan, maklum komplek itu adanya di bukit. Dan begitu memasuki komplek makam, kok tidak ada rasa magis bin sakral sama sekali. Yang ada rasa kuatir akan pencoleng yang hendak mencuri sepeda motor Kang Bagja, yang kebetulan motornya memang harus ditinggal diluar kompleks makam karena memang ga bisa masuk. Hilir mudik saya diantara sepuluh makam, tidak ada jua ketemu dengan rasa magis itu. Boro - boro sakral. Padahal di situ cuma saya berdua dengan Kang Bagja. Memang sih, saya kesana pas siang hari, pas waktu zuhur. Mungkin agak bergetar juga nyali ini ketika malam hari harus kesana. Tapi saya yakin, saya lebih gentar bila harus menghadapi begal disitu, ketimbang aura magis yang biasanya berpendar dari area pekuburan. Cukup banyak pohon tua dan besar rindang di sana, namun sekedar pohon, --tidak ada bumbu - bumbu magis. Ya. Kuburan serdadu Jerman itu ga ada magis - magis-nya blas. Ga sakral. Ga tau entah kenapa.
 
Juga ketika saya berbincang dengan juru rawat kompleks itu. Dia membeberkan aktivitasnya dengan santai. Muatan opini modern, --walaupun dia sudah berumur tua dan kesulitan berbahasa Indonesia--  misalkan membersihkan makam, trus menerima tamu, dan lainnya. Aktivitas normal.
 
Adalah sangat berbeda dengan ketika saya menemui penjaga makam Syech Quro di PuloBata, misalnya. Dia tidak berbicara, hanya menatapkan mata sayupnya --karena kantuk--, lantas dia berujar,"..ucapkan salam sebelum masuk...". Hanya itu, dan hal itu cukup membuat saya langsung merinding. Belum lagi hawa menyan yang makin menyengat menambah daya magis. Padahal saya nggak tau korelasi langsung antara bau menyan dengan tingkat kesakralan. Yang jelas bikin paru - paru ini 'nggreges'.
 
Berbicara dengan orang sekitar makam Syech Quro juga mengundang rasa magis. Apalagi memang aktivitas yang diceritakan cukup menohok. Dia bercerita tentang gimana membersihkan makam (ini sih normal), dan memelihara agar asap menyan tetap menyala (haiya..), berkala membersihkan pusaka dengan ritual tertentu, kapan harus membacakan doa dan sebangsanya. Dan kalau-pun saya melebih - lebihkan, membuka - buka foto kuburannya sudah memberi nuansa magis yang berbeda dibandingkan dengan membuka - buka foto dokumentasi kuburan serdadu Pak Hitler.
 
Rupanya atmosfer itu diciptakan. Hati orang yang hendak berjalan ke sebuah pemakaman, atau yang hendak memperbincangkan, atau yang sekedar membuka bacaan dan foto - foto, --terbawa oleh atmosfer ini. Hingga tindak - tanduk-nya juga terbawa serta. Gimana ritual menabur bunga, gimana para penjaga memberlakukan hal - hal yang spesifik kepada nisan yang dijaganya. Bayangkan perbedaan antivitas antara penjaga makam serdadu nazi dengan penjaga makam Syech Quro.
 
Gak cuma urusan kesakralan kuburan. Urusan kesakralan hal lain juga begitu. Urusan peringatan juga begitu. Peringatan apa-pun. Entah ritual berkala memandikan pusaka, entah peringatan kelahiran, entah bisa pula peringatan kemerdekaan. Tingkat kesakralan tergantung atmosfer. Dan sekali lagi, atmosfer itu di ciptakan. Lha bila sekarang peringatan proklamasi kemerdekaan lebih difokuskan ke panggung dangdut dan panjat pinang, apa yang salah ? [] haris fauzi - 19 Agustus 2008

*) of course, petilasan itu bahasa arab-nya adalah maqom, ini yang membikin mirip dengan istilah makam (kuburan)....thanks buat bung haris fuadi (namanya mirip nih) buat masukannya.
 
salam,

haris fauzi

No comments: