KOMIK DALAM HIDUP Anda tau 'komik' ? Ya itu, buku cerita yang terdiri dari kotak - kotak trus ada gambar dan gelembung kata. Semua orang setidaknya mengenal istilah 'komik' ini. Sebenarnya banyak sekali komik yang menggelantung dalam setiap perjalanan hidup saya, utamanya pas saya masih kecil. Dimana Ayah saya membelikan majalah 'Kawanku' secara berkala. Di majalah Kawanku, ditampilkan komik dua halaman seperti seri Baron von Munchaussen --serdadu edan, Wan Kobar --cerdik cendekia, Mr. Cipua --sang ilmuwan, dan tentunya komik Tomat karya Libra yang selalu nongol di satu halaman belakang. Tomat ini anak sok jagoan. Lucu dan apes melulu. Majalah 'Kawanku' ini terus melekat dalam impuls - impuls otak saya, juga komik Tomat tersebut. Yang mana pada akhirnya ditahun 2003, terbitlah kompilasi komik ini dalam dua jilid. Dikeluarkan oleh penerbit M&C. Bukan hanya saya. Anak saya, Salma, yang kala itu masih berusia tiga tahun, juga sayang dengan dua buku komik karya Libra --yang bernama asli Rachmat Riyadi-- ini. Goresan Libra sungguh lugas. Khas. Disukai anak - anak, karena gayanya sungguh spontan. Tengok bagaimana Libra seringkali menggambarkan tangan Tomat dengan jari sekitar tujuh atau delapan, semau - mau dia. Seri Tintin, Asterix, dan komik wayang karya RA Kosasih, --seperti anak - anak yang lain, saya juga melahapnya dengan penuh rasa penasaran seperti ketika membaca buku - buku karya Enid Blyton, seperti rasa ingin tahu dalam tulisan misteri Alfred Hitchcock, atau dalam petualangan detektif Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle, dan rasa pening setelah membaca ulahdetektif Hercule Poirot karya Agatha Christie. Namun, rasa penasaran itu menjalar kembali ketika saya membaca komik karya Keiji Nakazawa. Saya membeli seri komik ini dalam pameran buku di penghujung masa lajang saya, tahun 1997-an. Sungguh mencekam membaca kisah perang dunia kedua itu. Bagaimaa seorang seniman berusaha mencintai dan mencita-citakan perdamaian, dan berujung dengan konflik terhadap kepatuhan kepada kaisar. Sungguh, peperangan menebarkan derita dalam tiap petak di komik karya Nakazawa ini. Suatu hari sekitar lima tahun lalu saya berbincang dengan seorang teman, mas Suryo, kritikus musik rock-- yang pada akhirnya membuat saya demikian takjub. Bukannya kenapa. Beliau ini serius sekali bila membicarakan soal komik. Komik adalah sesuatu yang penting. Saya terlambat menyadarinya. Ketika tak lama kemudian saya membeli dan membaca komik karya Joe Sacco, berjudul 'Palestina', barulah saya menyadari, betapa komik bisa menyampaikan pesan kepada dunia. Sebuah corong yang demikian hebat. Kemaren, saya sempat melintas diantara jajaran rak buku di sebuah pertokoan di daerah Sentul. Ujung mata saya menatap komik Joe Sacco ini, yang kini dicetak ulang dengan format yang berbeda, dengan cover yang berbeda. Saya jamah dan saya buka lembar demi lembar. Setiap petak menyuarakan kepedihan. Menyuarakan derita. Menyuarakan kesangsian. Ya. Ini yang paling terasa. Kesangsian. [] haris fauzi - 4 Agustus 2008 salam, haris fauzi |
Monday, August 04, 2008
kenisah : komik dalam hidup
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment