Friday, August 01, 2008

kenisah : calling all stations

CALLING ALL STATIONS
Had i the courage to tell you
i'd promise you this
If that's what you need
I'll be the river
i'll be the mountain
always beside you
If that's what you need
I will be stronger
i will be braver
than ever before
........
Menjelang akhir tahun 1997, saya naik bis kota menuju kawasan blok M, targetnya adalah toko kaset Aquarius. Tahun itu memang saya masih sering membeli kaset, bukan format digital. Berdasarkan referensi yang kasak - kusuk nggak jelas, saya membeli album terbaru Genesis, judulnya "Calling All Stations". Sebuah album yang diliputi misteri, tentang keruntuhan grup akbar ini.
Bagi saya "Calling All Stations" adalah album fenomenal. Karena dua hal, yang pertama adalah kenyataan bahwa album ini dirilis setelah album "WeCan't Dance" yang terpuruk. Alasan kedua adalah album ini digarap setelah grup itu ditinggalkan frontman-nya, Phil Collins. Posisi ganda Phil Collins sebagai drummer digantikan drummer part timer, dan posisi sebagai vokalis diganti Ray Wilson.
Entah kenapa katanya album ini jeblok. Tetapi, secara subyektif saya menilai album ini keren. Vokal Ray Wilson malah berkesan progresif ketimbang suara Phil Collins yang poppy itu. Suara serak Wilson mengingatkan kepada suara Peter Gabriel, vokalis sebelum Collins. Juga dalam urusan aransemen lagu, ketika Phil cabut, maka peran dominan aransemen lagu diambil alih oleh Tony Banks, sang keyboardis. Banks lebih kompleks dalam menyusun nada ketimbang Collins, lebih padat. Mengingatkan era album "Duke", "Abacab". Atau mengingatkan akan album - album solo Banks "Bankstatement" atau "Soundtrack". Saya pribadi menilai lagu - lagu semacam "Congo", "Calling All Stations", dan "There Must Be Some Other Way" lebih dekat ke album - album solo Banks.
Mungkin sangat subyektif saya menilai album ini. Kalau ada yang harus subyektif, adalah dari sisi kesan pribadi saya. Kesan yang sangat mendalam. Pasalnya adalah album ini pernah menemani sepanjang perjalanan menyusuri rel, naik kereta dari Jakarta menuju Solo. Memang masa itu saya sering melakukan perjalanan ke Solo, menemui pacar saya yang tinggal di Solo. Biasa, saya ditemani dua karib, walkman dan buku. Dalam suatu perjalanan, kala itu berteman album "Calling All Stations" ini.
Album ini mengisi telinga saya melintasi entah berapa stasiun kereta, --dengan kemiripan judul yang tanpa disengaja--, menembus kelam malam, dan sesekali hantaman batu yang menghajar sisi badan kereta. Saya hendak menuju belahan hati saya di sana.
Andai sedang mendengarkan album ini, maka saya selalu teringat bagaimana kereta itu berjalan menuju Solo, dengan detak roda besi dan guruh lokomotif, membawa hati dan perasaan saya yang diliputi kangen. Mengiring hari - hari indah.
Juga bagaimana ketika Minggu malam dari balik jendela kereta saya menyaksikan dia melambai melepas kereta yang membawa saya kembali ke Gambir. Lambaian yang indah, yang membuat hati ini seakan hendak menyuruh saya melompat dari kereta untuk berada di sisinya kembali.
Saya melihat dia segera meninggalkan lintasan kereta. Membuat saya tertegun. Masa itu. Setiba rumah di Bekasi, saya menelepon dan menanyakan hal itu. " Saya nggak tahan lihat kereta yang membawa kamu pergi...saya nggak tahan...", begitu katanya. Saya tercekat. Hati saya tertaut.
Karena diputar berulang - ulang, saya akhirnya familiar dengan beberapa lagu. Salah satu yang paling dominan seiring dengan perjalanan saya itu adalah lagu "If That's What You Need". Begitu indah syairnya, berpadu dengan nada dan bunyi pilihan Tony Banks yang mengalir seperti angin pagi. Menyongsong embun dan cahaya mentari. Hampir terkesima seperti melayang saya mendengarkan lagu ini.
Dan setiba di rumah, saya segera mencabut kaset dari walkman dan memindahkannya ke perangkat stereo yang ada. Menyalakannya dengan volume sedang. Lantas memanjat tangga menuju loteng, membuka papan beserta penyangganya dan menggelar beberapa lembar kertas lebar. Saya mulai menggambarkan perasaan saya dengan menggores - goreskan crayon di kertas nan lebar itu. Dengan dominasi warna jingga, biru, lembayung, merah jambu, dan kuning. Crayon itu berganti - ganti bertengger dalam genggaman saya, memburatkan perasaan yang ada dalam hati, menciptakan wujud perasaan. Perasaan yang entah terwakili atau tidak. [] haris fauzi - 1 Agustus 2008


salam,

haris fauzi

No comments: