Thursday, August 14, 2008

kenisah : stranger

STRANGER
 
You better watch out, there's a stranger in town
You better watch out when he comes around
You better watch out..
Who's this man who fell out of the sky?
What's he done and where's he live?
How can a man who's a criminal be a hero to the kids?
('Stranger In Town' - Isolation#1984 - Toto)
 
 
Secara kebetulan saya sempat menjumpainya sebentar. Walau sudah kenal dekat, entah kenapa tatapannya kala itu seperti 'asing'.
"Apa yang kamu pikirkan ?", lontar saya mencoba mencari kesimpulan.
Tidak ada jawaban. Lantas bersimpang jalan. Saya melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian ponsel saya menerima pesan pendek, "...afraid...".
 
Ada sedikit keanehan malam itu. Kebetulan saya berada di suatu tempat, walau tidak jauh, tapi atmosfernya berbeda sekali. Dan ini membuat saya merasa sangat asing, dan merasa diawasi oleh banyak mata. Tapi bagaimana-pun saya harus jalan - jalan bentar, sendirian. Dasar pengen tau.

Mobil terkunci ganda, teronggok di atas rumput. Saya berjalan kaki, tas kecil berisi kamera-saku, batere, ponsel, dompet, dan kunci mobil saya bawa  serta.
Sayup terdengar celoteh bocah ribut mengaji menanti saat isya. Saya ingat jaman saya kecil, mengaji setelah maghrib, tapi lebih banyak bercandanya. Mushola itu ada di tikungan gang, menanjak. Saya belok ke arah mushola, yang dindingnya tidak di aci --batu batanya terlihat semuanya, dan jendelanya bolong begitu saja. Saya angkat kamera saya, mau ubah set menu-nya. Tak sadar saya ternyata sedang berdiri di tengah gang. Ada motor hendak lewat mengagetkan saya. Motor itu mengaum seiring tanjakan yang dia tempuh. Nyali saya jadi hilang, saya matikan kembali kamera. Urung memotret. Saya bukan fotografer, tapi saya membawa kamera saku, untuk apa ?
 
Saya menuruni tanjakan. Jalanan itu pas seukuran mobil, pasti kalo bersimpangan akan kesulitan. Apalagi malam gelap seperti ini. Sayup terdengar kereta api mendekat. Jalan kecil ini memang sejajar dengan rel kereta api. Kamera itu tidak akan menganggur kali ini. Mungkin empat kali lampu kilat kamera menyambar kereta itu. Lantas saya turunkan kamera, celingukan, merasa di awasi oleh orang - orang. Memang, malam itu saya tidak sendirian. Beberapa orang nampak duduk di beranda, di beberapa rumah. Saya segera berlalu.
 
Jalan ini bersua perempatan, bersimpang dengan jalan yang lebih lebar. Yang mana jalan itu menerobos bawah rel. Ada terowongan, mungkin sudah tua juga, soalnya kecil sekali terowongannya. Mobil nggak bakalan bisa berpapasan di kolongnya.
Ada dua anak kecil yang mencoba jadi pengatur jalan berbekal ember penadah duit. Saya mengambil gambar jembatan itu. Beberapa kali jepretan. Salah seorang anak --yang kecil-- mendekat dan bertanya;
"Motret apaan, kak ?"
"Motret kamu...hehehehe...", saya berkelakar
"Jembatan itu kalo dipotret ada setannya..", nasehat dia
" ...kamu takut setan ?"
"hihihihihihi..."
 
Si Kecil selalu menghindar bila saya bidikkan kamera, tetapi temannya yang lebih besar --sekitar 8 tahun-- mau diambil gambarnya. Tak lama kemudian lewat motor dan berhenti di seberang kami, si pengendara --umurnya sekitar 45 tahun-- memanggil si Kecil. Mungkin kerabatnya, dan mungkin bilang,"..don't talk to stranger...". Si Kecil ikut motor tersebut dan tidak kembali ke terowongan.
 
Bosan di samping terowongan, saya menyusur jalan utama. Di kiri - kanan dominan rumah dengan pagar bambu. Sebagian dindingnya tidak ber-aci, batu bata nongol kemana - mana. Ada yang berpintu papan di sandarkan, atau berpintu bilik. Ada pintu yang bertirai. Sekilas nampak nenek - nenek di antara pintu, lantas lenyap. Sekali lagi, saya tidak punya nyali memotret rumah - rumah itu. Merasa diantara batu bata itu ada ribuan mata yang mengawasi. Saya orang asing di sini.
 
Kaki ini membawa ke warung 'surabaya' di pinggir jalan. Waktu mendekati pukul delapan malam. Iseng memesan minuman jeruk hangat. Sempat disapa seseorang yang berkalung rantai,
"kerja di pabrik A ?".
"pabrik B ", jawab saya berusaha ramah
"...pabrik yang di daerah C, ya ?", selidiknya. Dia menyebut daerah yang tidak jauh dari warung ini. Jawaban dia salah. Saya tersenyum. Dia preman, namun daerah operasinya nggak terlalu luas, nggak sampe pabrik dimana saya bekerja.
" asli mana ?", tanyanya lagi.
"..Malang, Jawa Timur...", saya merasa aman berada di warung surabaya ini.
"...orang jauh....musti bisa bahasa sunda biar ga ditipu...", nasehatnya sebelum pergi.
 
Menyusur tikungan yang penuh tukang ojek tertawa keras - keras. Dugaan dalam hati, menjelang larut pasti sudah bergelimang minuman keras murahan. Mungkin. Semoga saya salah.
Di seberang pangkalan ojek itu ada bengkel kayu. Masih terlihat dua tukang kayu yang sibuk menggergaji dan menyerut manual. Di bawah cahaya lampu pijar di antara tumpukan keping kayu. Saya melewati antara pangkalan ojek dan bengkel kayu untuk mendapatkan sudut yang bagus di bengkel kayu. Sungguh sayang, untuk memotretnya saya harus mundur sampai ke pangkalan ojek itu. Ini yang membuyarkan nyali. Urung lagi. Goblog.
 
Lunglai saya melangkahkan kaki, melewati kandang kambing, melewati pangkalan drum. Makin ogah memotret. Sesekali mengeluarkan buku kecil dan mencatat. Merasa asing sekali. Merasa diawasi banyak mata. Malam juga mencekik, menambah rasa terkucil. Sekali memotret ujung gang. Sudah. Lantas masuk mobil. Merasa sedikit tenang dengan duduk di jok. Menyalakan player. Jimmo bersenandung dengan karakter vokalnya yang indah:
...senyumlah kasih
buailah fikiranku
lenyapkan keraguan
dalam batinku
kukuhkan hatiku
aku cinta kamu
....

[] haris fauzi - 14 agustus 2008
 

 
salam,

haris fauzi

No comments: